BAB 7 | Mulai Putus Asa

106 28 17
                                    

"Apalah dayaku yang sederhana ini jika dibandingkan dengan dia yang teramat sempurna. Dia memiliki segalanya, wajah yang tampan dengan keadaan finansial yang begitu mapan. Sedangkan aku? Sangat jauh tertinggal di belakangnya."

-Adiwijaya-

☆☆☆

Perjodohan yang kedua orang tua Rengganis layangkan sama sekali tak menyurutkan Adi ataupun Rengganis pribadi. Keduanya bertekad akan membuktikan dan meyakinkan kedua orang tua masing-masing, agar bersedia memberi mereka waktu dan kesempatan. Hanya bermodalkan semangat dan kegigihan, sepasang kekasih itu bertemu dan membicarakan rencana yang akan mereka tempuh.

Sebuah rumah makan Sunda di bilangan Jakarta Pusat menjadi tempat pertemuan keduanya. Ya, setelah mendapat angin segar dari sang ibu, Rengganis langsung bergegas kembali ke Ibu Kota tanpa sepengetahuan Asep tentunya. Dia hanya berpamitan dan meminta doa restu pada sang ibu tercinta, yang sudah memberikan lampu hijau dan persetujuan untuk melanjutkan hubungan bersama sang kekasih ke jenjang yang lebih serius lagi.

"Abah semakin gencar menunjukkan ketidaksukaannya sama kamu, Mas. Bahkan Abah sampai menjodohkan aku dengan anak dari temannya," adu Rengganis pada Adi yang kini tengah duduk di hadapannya dengan secangkir kopi hitam.

Helaan napas berat kentara sekali keluar dari sela bibir Adi. "Kita harus sama-sama berjuang. Jangan berjalan sendirian, karena itu akan berakhir percuma," katanya.

Dia sudah mencoba mengambil hati ayah sang calon istri. Tapi ternyata itu tidak membuahkan hasil sama sekali, dan opsi terakhirnya mereka harus mempertemukan kembali kedua orang tua masing-masing, dengan harapan akan ada sedikit celah untuk mereka bersama.

"Ya, tapi caranya gimana, Mas?" tanya Rengganis penuh kefrustrasian.

"Kita atur waktu untuk mempertemukan kedua orang tua kita. Semoga aja dengan cara begitu mereka bisa melihat kesungguhan kita dan syukur-syukur memberikan restunya," tutur Adi setelah satu tegakan kopi dia minum dengan begitu lancar.

"Kapan, Mas?"

"Yang pasti secepatnya. Aku yakin ada alasan lain Bapak dan Ibu menolak kamu sebagai menantu. Bukan hanya karena kamu gadis kelahiran Sunda. Ibu dan Bapak emang orang yang begitu kental dengan adat dan budaya. Tapi mereka lemah dalam hal sejarah, aku rasa itu hanya alasan mereka aja," ungkap Adi mengeluarkan apa yang beberapa hari ini menganggu pikirannya.

Dari yang Adi tangkap, ibunya itu menjadikan Perang Bubat antara kerajaan Majapahit (Jawa), dan kerajaan Pajajaran (Sunda) tempo dulu hanya untuk menjadi tameng dan alasan belaka. Karena seperti yang telah Adi paparkan, bahwa kedua orang tuanya itu tidaklah ahli dalam hal sejarah masa lalu.

"Tapi buktinya Bapak dan Ibu, Mas tau tentang masalah sejarah tempo dulu. Apa itu enggak cukup kuat untuk membuktikan kalau mereka itu sangat mengerti sejarah," sanggah Rengganis tak setuju.

"Zaman udah canggih, apa pun bisa dicari lewat internet. Apa lagi terkait sejarah Perang Bubat pasti di google banyak situs yang menuliskan artikel kaya gitu," sela Adi masih kekeuh mempertahankan asumsinya.

"Terus, apa yang harus kita lakukan, Mas?"

"Aku akan mencoba membicarakan semuanya secara baik-baik sama Bapak dan Ibu, begitu pun kamu," jawab Adi santai, bahkan dia menegak habis kopinya.

"Udah berkali-kali aku ngomong sama Abah tapi gak berhasil, Mas," ucap Rengganis penuh keputusasaan.

"Mungkin aja kita salah memilih waktu yang tepat," sahutnya.

"Maksud, Mas?"

"Kita harus pandai memilih waktu, jangan dalam keadaan sedang memanas. Usahakan pas kita obrolin tentang masalah ini keadaan kedua orang tua kita sedang dalam keadaan baik. Kita harus tenang dan terlihat biasa aja. Jangan terlalu memperlihatkan bahwa kita begitu ngotot, karena itu hanya akan memancing emosi mereka. Kamu paham, 'kan maksud aku?" terang Adi panjang lebar.

Rengganis mengangguk mengerti. "Tapi gimana kalau cara ini gagal?"

"Jangan terlalu memikirkan hasil, yang harus kita lakuin itu hanya berusaha untuk urusan hasil kita serahkan semuanya sama Allah," katanya dengan senyuman manis yang begitu menyejukkan.

"Mending kita makan dulu. Perut aku udah keroncongan, kopi doang mah gak bikin kenyang," sambung Adi dengan cengiran khasnya.

Rengganis hanya menurut saja dan mereka menghabiskan waktu makan siang bersama dengan ditemani berbagai macam makanan khas tanah Pasundan.

☆☆☆

Semenjak pertemuan siang itu, baik Adi maupun Rengganis memutuskan untuk tidak begitu intens bertemu. Keduanya sepakat untuk meyakinkan orang tua masing-masing. Adi langsung meluncur menyambangi kediaman orang tuanya di Jawa sedangkan Rengganis masih sibuk di Ibu Kota dengan pekerjaannya. Sebab, sang pemilik toko tidak memberikan izin, karena Rengganis terlalu banyak bolos bekerja akhir-akhir ini. Dia berencana pulang pada saat waktu libur tiba.

Adi yang memang sudah dua hari ini menginap di rumah orang tuanya, selalu memantau rumah sang calon mertua untuk memberikan kabar kepada Rengganis. Walau dia harus merasakan sakit kala laki-laki yang dijodohkan dengan sang kekasih tak pernah absen mengunjungi kediaman Asep. Sungguh, hal itu membuat dia meradang namun sebisa mungkin dia tahan. Terkdadang Adi putus asa dan ingin menyerah saja, tapi senyum manis sang kekasih selalu berhasil membuat semangatnya bangkit kembali.

Laki-laki keturunan Minang yang begitu tampan dan mapan dengan balutan jas hitam dan celana bahan. Sangat berbanding terbalik dengan dia yang hanya sekadar pemilik toko dengan tampilan seadanya. Celana jeans dan kaus oblong menjadi oufit sehari-harinya. Minder? Sudah jelas.

"Uwes toh, Nak sebaike kowe nglalekaken Rengganis. Kae kuwi uwes di jodhokaken kalih jaler ingkang luwih langkung sekebehane saking kowe," ucap Sri dengan sengaja menjatuhkan mental putranya.

Adi melirik sengit ibunya. "Anak sendiri dijatuhin dan dibandingin sama orang lain, dan parahnya orang itu lawan aku. Sebenarnya anak Ibu itu aku atau dia sih," dengus Adi tak terima.

"Ibu matur sami fakta. cobi liat dirimu dewe, pundi enten putri ingkang nerima kowe apa anane," sela Sri.

Adi malas mendengar perkataan ibunya yang begitu meremehkan dia. "Percuma gadhah kathah arta nanging hasil kerjakeras tiyang sepuhipun," balas Adi

Adi tahu arah pembicaraan ibunya yang pasti akan berujung dengan menyuruh dia untuk meneruskan usaha batik keluarga yang telah ayahnya rintis bertahun-tahun. Sampai kapan pun dia tidak akan pernah mau, dia sudah terlalu mencintai usahanya. Walaupun masih kecil dan dalam tahap perintisan, setidaknya itu lebih baik dari pada dia tinggal meneruskan usaha keluarga.

"Terserah kamu aja. Cinta emang membuat kamu bahagia tapi itu hanya sesaat saja. Kamu pikir besarin kamu sampe segede ini pake cinta? Terlalu sempit kalau kamu berpikiran cinta itu segalanya. Karena nyatanya banyak pernikahan yang berakhir di meja hijau karena masalah ekonomi!" sergah Sri begitu menohok Adi.

Adi semakin dirundung keputusasaan kala sang ibu yang dia harapkan bisa memberikan semangat dan energi positif, justru membuat mental dia semakin menciut. Apakah kisah percintaanya akan berakhir menyakitkan seperti ini?

Jika boleh meminta, dia tidak ingin mengalami kisah kasih seperti ini. Sungguh menyiksa dan menyakitkan.

•TO BE CONTINUE

Catatan Kaki
1. Sudahlah, Nak sebaiknya kamu lupakan Rengganis. Dia bahkan sudah dijodohkan dengan laki-laki lain yang jauh lebih dari segalanya dari kamu.
2. Ibu ngomong sesuai fakta. Coba liat diri kamu, mana ada perempuan yang benar-benar nerima kamu apa adanya.
3. Percuma punya banyak uang tapi hasil kerja keras orang tuanya.

Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh...

Gimana dong Adi nya semakin putus asa. Apakah ini adalah keputusan terbaik? Atau justru sebaliknya?

Jangan lupa follow, vote, koment, dan share untuk mendukung cerita ini. Terima kasih, semoga suka dengan alur cerita yang kami suguhkan😊

Cinta Terikat Adat | OPEN PRE ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang