BAB 2 | Lamaran Mendadak

236 41 49
                                    

"Jika kepastian bisa dipegang dan dibuktikan, mengapa harus menunda sebuah kebaikan. Apalagi membuat seseorang menunggu hanya untuk sebuah kesenangan."

☆☆☆

Pagi menyapa, saatnya Rengganis melakukan aktivitas seperti biasa. Bangun pagi, mandi, salat, membereskan kost-kostan, masak, sarapan, dan berangkat kerja. Hari ini, layaknya hari kemarin Rengganis menaiki motor matic untuk sampai di tempat kerja. Cukup dua puluh menit dia sampai di toko roti tempatnya berkerja.

"Assalamu'alaikum. Selamat pagi, semangat semuanya," sapa Rengganis sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Penuh semangat.

Beberapa membalas dengan senyuman, dan ada pula yang hanya menjawab salam sembari mengangkat jempol, ada juga yang tetap fokus dengan perkerjaannya.

"Semangat banget nih kayaknya, udah taken sama yang itu yaa," ledek Rahmah teman sepekerjaannya.

"Biasa juga semangat kali, lagian itu siapa juga. Ga jelas!"

"Hari ini semangatmu beda tauu, itu loh yang kemaren ngasih kartu nama." Di akhir kata Rahmah menaik turunkan alisnya.

"Apaan, gak ada taken-takenan sama dia. Udah ah, kerja kerja kerja. Hus huss sana," usir Rengganis agar tidak diusik mengenai laki-laki kemarin, lebih tepatnya Adiwijaya.

Dengan ramah, Rengganis malayani pelanggannya. Walaupun setiap pelanggan berbeda-beda.

"Semuanya tujuh puluh lima ribu, Pak."

"Mahal banget, Mbak cuma beli roti tiga aja. Biasanya kalo di kampung satunya itu seribuan. Jangan ngibulin orang tua. Dosa," protes bapak tersebut, sembari memberi uang tiga ribu. Rengganis hanya membalas dengan senyum kaku, juga bingung bagaimana menanggapi pembeli di depannya.

"Maaf, Pak ini harga pas. Tidak bisa ditawar. Harga di sini sesuai dengan kualitas bahan yang kami gunakan. Jadi, mohon untuk membayar tujuh puluh lima ribu, Pak," jelas Rengganis pelan dengan tetap berusaha tersenyum.

"Halah, Mbaknya ini nipu. Gak baik nanti jualannya gak berkah. Walaupun saya sudah tua bukan berarti, Mbak bisa membohongi saya sesuka hati."

"Mohon maaf sekali, Pak. Di sini tidak ada penipuan harga sedikit pun, mau tua ataupun muda harga tetap sama. Jika Bapak belum bisa membayar sekarang, Bapak boleh duduk dulu di sebelah sana, biar yang lain tidak menunggu lama." pasrah Rengganis, entah itu akan menyinggung bapak tersebut atau tidak. Akhirnya bapak itu menurut walau hanya sedikit menggeser posisi berdirinya.

"Cuma dua puluh lima ribu aja, Mbak."

"Loh loh loh, saya dimintai tujuh puluh lima ribu. Kok, Mbak yang masih muda ini cuma dua puluh lima ribu. Gak adil banget, astaghfirullah. Allah aja Maha Adil masa umat-Nya pilih-pilih. Inget, Mbak azab itu ada dan nyata," ujar bapak yang tadi tiba-tiba. Sebenarnya Rengganis sudah emosi tapi dia tahan. Rengganis maklum karena yang dihadapinya ini orang tua. Rengganis harus sabar, seribu sabar.

"Ini, Mbak uangnya pas yaa. Saya permisi," sahut perempuan di depan Rengganis. Mungkin tidak mau ikut berurusan jadi lebih baik dibayar lalu pergi. Rengganis jadi tidak enak dengan pelanggan yang lain.

"Mohon maaf, Pak. Mbak yang tadi hanya beli satu roti sedang Bapak membeli tiga roti tentu saja harganya beda. Bukan karena usia, Pak. Di sini tidak ada perbedaan usia dalam pembayaran. Jika mau dibayar silakan, jika tidak juga tidak apa. Rotinya bisa ditaruh sini, dan Bapak boleh beli roti di tempat lain. Kasian yang lain sudah menunggu lama. Mohon maaf sekali lagi, Pak atas ketidaknyamanannya," terang Rengganis yang sudah sedikit terbakar emosi, dan dia mengumpat dirinya sendiri. Sebenernya dia tidak nyaman dengan adanya bapak itu namun apa boleh buat dia tidak berhak untuk mengusir pembelinya. Mungkin pelanggan yang lain juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan gadis muda itu.

Cinta Terikat Adat | OPEN PRE ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang