BAB 4 | Menjauh

201 29 30
                                    

"Menjauh bukan jawaban yang tepat, akan teka-teki yang terbuat. Sekalipun dijelaskan lewat isyarat, tetap saja menjauh bukanlah pilihan yang tepat."

☆☆☆

Bagaimanapun namanya adat tidak bisa dihilangkan dan dilupakan, tapi harus dilestarikan. Keyakinan dari zaman orang terdahulu memang begitu, mengutamakan adat yang sudah melekat dalam kehidupan di lingkungan masyarakat. Sekalipun cinta menerjang, hal itu tidak mampu mengesampingkan adat.

Mengingat kata demi kata yang dilontarkan ibunya membuat Adi kesal, marah, dan tak setuju dengan penolakan yang Sri layangkan. Pasalnya sang ibu hanya melarang dia untuk menjalin hubungan dengan sang Kekasih tanpa alasan yang jelas. Hanya sekadar mengatakan bahwa pernikahan antara suku Jawa dan Sunda tidak boleh diselenggarakan, karena itu sudah menyalahi aturan dan adat kebudayaan yang kedua orang tuanya junjung tinggi.

"Arrrghhh." Adi mengusap wajahnya gusar.

"Kenapa?" Suara Sri, ibunya membuat Adi menoleh.

"Iku loh, Bu adatipun dipunicalaken riyin sekedhap kan saged demi keusaian masa lajangnge kula, Bu," rayu Adi pada ibunya untuk kesekian kali.

"Adat iku mboten saged dipuntentang Adi! Sekalipun perihal tresna. Uwes ayolah antar Ibu dhateng peken mawon, Ibu tengga teng jawi," tegas Sri pada anaknya.

Entahlah Adi hanya bisa pasrah untuk saat ini, menentang dengan alasan cinta pun tak bisa. Apalagi yang lain. Adi harus lebih cerdas mencari alasan lain, kalau bisa sebuah bukti agar adat tersebut bisa sedikit dikesampingkan. Tapi Adi percaya pasti ada sebuah alasan lain yang membuat ibunya berpikiran sekolot itu di zaman yang sudah modern ini.

Sampai di depan, Adi menyiapkan motor matic-nya untuk mengantar sang ibu ke pasar. Ibunya memang begitu, jika ada Adi di rumah lebih senang perintah Adi untuk antar ke pasar, dari pada naik mobil dengan pak sopir. Ibu itu manja jika ada anaknya.

Saat Adi akan melajukan motornya, Adi tak sengaja melihat Rengganis yang sedang bersiap pergi entah ke mana, sepersekian detik mereka sempat bertatap muka. Ada sorot kecewa di mata Rengganis, saat Adi memutuskan untuk mengalihkan pandangan. Adi sengaja menghindar lebih tepatnya menjauh untuk sementara, entah sampai kapan. Mungkin sampai Rengganis jadi jodoh orang. Tapi semoga saja mereka berjodoh dan tidak akan bisa dipisahkan.

"Jodoh orang, ndak usah diarepin toh, Nak," sindir Sri saat dia melihat sang putra yang tengah melakoni adegan tatap-tatapan penuh cinta. Jelas dari ucapannya bahwa Sri menolak Rengganis sebagai menantu.

"Sekarang emang Ibu bisa menolak secara terang-terangan, dan adat membuat cintaku belum terikat, nanging nek Allah sampun nemtukaken Rengganis jodoh kulo. Adi bisa apa? Menerima dengan gembira tentunya," ucap Adi dengan senyum merekah di akhir kalimatnya dan membuat Sri bungkam.

☆☆☆

"Dia calon suamiku, Bah," ungkap Rengganis pada kedua orang tuanya, lebih tepatnya sang ayah yang begitu menunjukkan rasa ketidaksukaannya.

"Calon suami? Kamu kata calon suami? Calon macam apa yang tidak memiliki sopan santun. Lihat keluarganya, belum jadi besan sudah ribut di depan rumah orang. Di mana etika mereka? Ngerakeun pisan!" tutur Asep dengan nada sarkas.

"Abah, kita teh belum tau mereka ribut gara-gara apa? Pasihan hela waktos kangge Rengganis nyungken penjelasan ka Jang Adi," saran Asih, ibunya.

"Teu kudu! Abah mah teu satuju. Tos lah, Neng mah tong mikiran lalaki, engke ku Abah pangmilariankeun," ucap Asep tanpa mau menerima bantahan dan penolakan.

Cinta Terikat Adat | OPEN PRE ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang