0.18

1.4K 47 8
                                    


"gimana jawabannya? Kamu mau gak?" pertanyaannya itu bahkan mampu membuat oksigen disekitarku menghilang seketika.

Duh gimana dong?!

Aku mendengar dia menghembuskan nafasnya kasar. "kalau memang belum bisa jawab, it's okay. I'll be waiting, Louisa." Ia menjawab pertanyaannya sendiri lalu melemparkan senyumannya kepadaku yang aku balas dengan senyum terbaikku.

Entah mengapa aku merasa sangat amat bersalah saat aku bahkan belum mengambil keputusan untuk menerimanya atau menolak dirinya. Dan itu artinya aku sama saja 'menggantung' dirinya.

"nih," Varo menyodorkan sebuah helm padaku. Aku mengambil benda itu dari genggaman tangannya. Aku mengenakan benda bulat itu di kepalaku lalu naik ke atas motor Varo.

Varo mulai melajukan motornya membelah poros jalan yang ramai di siang hari terutama jam makan siang seperti sekarang. Sesekali ia mengelus punggung tanganku yang melingkar di pinggangnya. Aku menyenderkan kepalaku di punggung Varo yang sangat nyaman.

Pepohonan yang ada disepanjang jalan menambah kesan menenangkan ditengah-tengah keramaian jalan kota yang kami lalui.

"Louisa," panggil Varo yang sontak memebuat aku menegakkan kepalaku yang sebelumnya bersandar dipunggung super nyaman miliknya. "iya?"

"kamu mau makan siang?" tanyanya dengan lembut.

"boleh." Aku melihat ia membelokkan motornya ke arah sebuah jalan kecil. Disana terdapat kafe di pojok jalan.

Pertama kali aku melihat bagian luar kafe ini, aku terpaku dengan kesan vintage ala tahun 80-an yang masih menarik perhatianku. Dari luar, kafe ini tidaklah berukuran sangat besar. Namun ukurannya juga tidak kecil. Terdapat beberapa meja dan bangku khusus bagi pengunjung berstatus perokok pada teras kafe ini.

Saat salah satu tangan Varo mendorong pintu kafe itu, sejumlah karyawann menyapanya hangat. "silahkan mas Al," ucap salah satu karyawan yang mempersilahkan Varo dan aku untuk duduk disebuah meja yang berada disamping kaca besar bening yang langsung memperlihatkan jalan yang rindang dengan pepohonan yang menghiasi sisi jalannya.

"var, kamu langganan disini?" aku yakin Varo adalah langganan kafe ini karena para karyawan nampak mengenal Varo dengan baik.

"bukan." Jawabnya, aku mengernyit bingung. "tapi kok kayaknya semua orang disini kenal kamu?"

Dia tersenyum, "kafe ini punya nenekku."

Aku mengangguk tanda mengerti, saat ada seorang karyawan yang menanyakan menu apa yang akan kami pesan. Aku memesan satu cangkir ekspresso dan sebuah roti mentega. Sedangkan Varo memesan segelas teh hijau dan sebuah roti bakar.

"aku sudah tinggal sama nenekku dari umur dua tahun." tiba-tiba Varo membuka pembicaraan.

"ooh gitu, bonyok kemana?" tanyaku yang membuat ia tersenyum secara terpaksa.

"mereka kecelakaan." Dia menjeda kalimatnya sembari menghembuskan nafasnya kasar, "jadi, aku tinggal sama nenek."

"I'm sorry, var" jujur saja aku merasa tidak enak karena membahas tentang ayah dan ibu varo.

"no, it's okay. Aku termasuk tipe orang yang susah untuk terbuka sejak empat bulan yang lalu. Tapi gak tau kenapa rasanya gampang terbuka sama kamu." Ia menunjukkan senyum terbaiknya. Namun aku masih melihat rasa sakit yang ia sembunyikan didalam matanya.

"empat bulan yang lalu?"

"yap. Tepat saat nenekku meninggal. I'm so lonely." Aku terkejut akan jawabannya. Dia tidak memiliki siapa pun disisinya.

"kamu gak punya saudara yang lain gitu? Kamu beneran sendirian?" dia hanya mengangguk, "sebenarnya aku punya om. Tapi dia suka benget mabuk. So, aku hidup dari sini. Dari kafe ini." Jelasnya dengan tatapannya yang sendu, aku terenyuh.

"all I have is you. I love you Louisa." Ucapnya lalu menaruh kepalanya dipundakku. Tanganku tergerak untuk mengelus kepalanya, memberikannya kehangatan.

Aku mencintaimu juga, Alvaro.

Sekitar 10 menit, menu yang kami pesan telah tersaji dihadapan kami. Kami pun mulai menyantapnya. Namun di tengah-tengah kegiatan kami, aku melihat darah segar yang mengalir dari lubang hidung Varo.

"Var, hidung kamu berdarah!" ucapku seraya menyodorkan selembar tissue. Namun yang dia lakukan hanya tersenyum mengambil tissue itu dan berkata, "udah biasa."


***LE(YOU)KIMIA***


"memang kenapa sih kalo gue nolak dia gue bakal nyesel tujuh pangkat dua turunan?" tanyaku dengan seseorang disebrang sana, Clarissa.

"dia itu boyfriend material banget lou. Lo bakal nyesel lah pokoknya." Jawabnya.

"kenapa? Karna ganteng??" Pikirnya aku akan menerima seorang laki-laki hanya karena dia ganteng? Big no!

"dia itu setia banget. Pekerja keras, pantang menyerah, pokoknya lo terima aja deh! kan lo udah ada feeling juga kan?" balasnya, "iya juga sih" aku memikirkan semua sikap manisnya yang membuat aku melayang.

"yasudah! Lo tinggal bilang lo mau jadi pacarnya." Ucapnya sambil menyengir. Ah, kebiasaan buruk itu lagi.

"oke, gue bakal ngomong besok." Aku menegaskan bahwa aku akan memberikan keputusan itu pada Varo besok.

"yaudah, gue pengen tidur nih. Udah malem." Ucapnya lalu langsung menutup telpon. Astaga gadis satu ini.

Aku menaruh handphoneku lalu menatap langit-langit kamarku. "dia itu baik, manis, ganteng, lucu, hmm kurang apa ya?" aku bertanya pada diriku sendiri sambil membayangkan wajah tampannya. "kurangnya, dia bukan pacar gue hahahah!" aku menjawab pertanyaanku sendiri, seperti orang gila.

"ih amit-amit!" umpatku kala menyadari betapa menjijikkannya diriku saat memikirkan dirinya.

Pikiranku kembali melayang ke waktu dimana aku dan Varo pertama kali bertemu, pertama kali kami berkenalan, pertama kali ia memelukku, semua tentangnya berputar dikepalaku. Tetapi satu hal yang selalu mengganjal kepalaku. Aku menggulirkan bola mataku menuju sebuah kubus di atas meja belajarku. Kubus yang berisi obat-obatan.

"dia kenapa sih?" tanyaku sendiri kala aku mencoba menghubungkan antara obat-obat ini dengan sebuah hal yang Varo anggap sepele, yaitu mimisan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LE(YOU)KIMIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang