Selepas praktek, buru-buru jas sama sarung tangan gue lepas dan berlalu menuju kelas. Yang gue butuhin hari ini cuma mendinginkan pikiran.
Tapi begitu sampe kelas, niat itu gue urungkan. Didalem ada Xiaojun, Haechan, Hyunjin dan Hendery yang lagi dipojokan. Gue tebak entah mereka bolos jam praktek atau ikut praktek tapi cuma sebentar.
"Sendirian lo Han? Yang lain mana?" tanya Xiaojun.
"Masih dibelakang. Gue keluar lebih awal aja."
"Kuy join ngeghibah ria ama kita!" seru Haechan.
"Yang ada diotak lo tuh isinya ghibah terus. Gak ada yang lain emangnya?"
"Nahan ghibah itu ibarat nahan boker yang udah diujung, susah. Tapi sekalinya keluar langsung VLONG!"
Gue menatap Haechan jijik.
"Nih mau Han?" tawar Hyunjin sambil nyodorin makanan.
Gue menggeleng. "Enggak makasih, gue pergi dulu."
"Kemana?"
"Kamar mandi." bohong gue.
"Ikut!" seru Haechan, ngacungin tangannya yang langsung dibalas tabokan sama Hyunjin.
Gue berlalu pergi. Tujuan gue sekarang adalah atap. Iya gue menyebutnya atap, biar lebih simple aja.
Gue memilih untuk duduk bersender ditembok, menghela nafas kasar, menatap langit yang ada dihadapan gue. Disini itu tempatnya tenang, jarang yang datang kesini, cocok untuk mendinginkan otak gue yang baru aja kebakar.
Kira-kira belum ada 10 menit gue disini, tiba-tiba gue merasa ada yang duduk disebelah gue.
"Ternyata lo disini." gue menengok mendapati Lucas lah orangnya.
"Kenapa?"
"Gak apa-apa. Tadi lo keluar lab paling cepet, pas dikelas malah gak ada. Kata Xiaojun lo ke kamar mandi tapi gue tungguin lama gak keluar."
"Terus lo kok tau gue di atap?"
Lucas nyengir. "Otak gue kan ada GPS nya."
Gue memutar bola mata.
"Mending yang tadi gak usah diambil hati deh ya?" kata Lucas dengan pandangan kedepan.
"Yang tadi mana?"
Lucas nengok ke gue. "Pura-pura amnesia lo? Gue doain beneran baru tau rasa."
Gue mencibir. "Ck! Iya iya."
"Lagian tadikan cewenya yang nyosor dulu, reflek mungkin. Lo gak usah jadi galau gini dong."
"Gue udah gak mikirin itu kok. Dan gue gak lagi galau btw." jelas gue.
Tangan Lucas ngerangkul gue secara tiba-tiba yang bikin gue kaget karena tindakannya. "Nah gitu dong. Kalo lo murung terus langit jadi gelap dan hawanya jadi ikut dingin, gue gak suka."
"Menurut lo gue yang membuat langit mendung gitu?"
"Iya."
"Jadi intinya lo cuma pengen membuat langit gak mendung lagi atau lo pengen gue gak murung lagi?"
"Dua duanya."
Satu sudut bibir gue terangkat.
"HANI!"
Kepala gue tertoleh ke seseorang yang manggil gue dari kejauhan.
"Ternyata kamu disini? Sama dia? Berduaan?" tanya Mark setelah melihat gue sama Lucas ada disini.
"Tangan." kata Mark.
"Hah?"
Mark nunjuk tangan Lucas yang masih merangkul gue menggunakan dagu. Bukannya dilepas, Lucas justru nanya, "napa? Gak boleh?"
"Han, kita harus bicara."
"Lagak bicara lo sok amat." kata Lucas.
"Lo gak usah ikut campur." balas Mark tajem.
"Mending tenangin dulu itu temen kamu yang tadi." sindir gue. "Aku masih mau disini, kamu pergi aja."
"Denger gak Hani bilang apa? P-e-r-g-i."
Langkah Mark justru mendekat, dan dengan cepat menghempaskan tangan Lucas yang bersarang dipundak gue. Lengkap dengan tatapan datarnya.
Datar sih.
Tapi menusuk.
"Pergi." usir Mark ke Lucas.
"Enak aja."
"Gue perlu ngomong sama Hani. Berdua. Gue gak butuh ada orang ketiga disini."
Gue menghela nafas kasar.
Kalo gak ada yang nengahin. Mereka jelas gak akan berhenti adu bacotnya.
"Lucas." gue ngangguk sembari senyum ke Lucas, memberi instruksi buat dia supaya pergi.
"Selalu aja gue yang harus ngalah." gumamnya, terus berlalu pergi dengan gontai.
Selepas Lucas pergi, Mark duduk didepan gue. Emang cuma duduk. Tapi cara dia natep gue itulah yang bikin gue salting. Mana dari tadi gak ngedip.
"N-ngapain ngeliatin aku terus?" tanya gue akhirnya."Muka kamu."
"Cantik? Iya tau kok aku cantik."
"Jelek banget."
Gue cemberut. Paha dia gue tabok aja yang kenceng. Mark ngadu kesakitan tapi habis itu malah ketawa.
"Kenapa ya kamu jelek kaya gini aku masih aja suka?"
Hmm. Kok terkesan mengejek ya?
Gue menyipitkan mata. "Kok terdengar seperti penghinaan gini ya?" Mark ketawa lagi, kali ini tangannya terulur buat ngacak ngacak rambut gue.
"Mark ih!"
"Jangan marah lagi ya?"
"Siapa yang marah? Enggak kok."
"Yakin?"
"Hmm."
"Itu kenapa cemberut gitu? Manyun lagi." Mark nunjuk mulut gue.
Gak peduliin Mark. Gue berusaha menghindari tatapan sama Mark dengan cara ngeliatin kebawah sambil mainin tali sepatu.
"Jangan cemberut terus. Nanti aku khilaf loh."
To be continued~
KAMU SEDANG MEMBACA
Tengil | Lucas
RandomCuma nyeritain Lucas dan segala ketengilannya - Bahasa non baku - Just for fun ©ahraaly