Langit sore itu biasa, berawan tipis, berarak ke timur melawan surya. Semburat jingganya tidak pernah jauh dari kata indah, dan senja itu menjadi saksi bahwa di sebuah rumah sederhana, seorang pria berpakaian rapi tengah mematut diri di depan kaca, tersenyum hampa tanpa arti. Mengabaikan seorang gadis di belakangnya yang menatapnya tak suka.
“Perempuan mana lagi yang Mas mainin?” tanya gadis itu sarkas, sedangkan laki-laki itu--Dirga--berbalik badan, menghadap gadis yang berbeda empat tahun dengannya--Diandra.
“Mella, mahasiswi genit jurusan manajemen yang hobi menggoda pria,” jawabnya tidak acuh.
“Dia korban keberapa Mas bulan ini?”
“Kalau tidak salah, korban ke-4.” Diandra menghela napas jengah.
“Mas, mau sampai kapan sih? Gadis yang Mas mainin itu, gadis yang dirawat mati-matian oleh Ayahnya, gadis yang dijaga sepenuh hati oleh Ayahnya ….”
“Dan gadis di hadapan Mas saat ini, adalah gadis yang diacuhkan Ayahnya. Gadis yang sama sekali tak pernah dilindungi Ayahnya. Dan Mas akan mencarikan teman untukmu dan Ibu. Wanita yang diacuhkan dan disakiti sedemikian rupa,” potong Dirga cepat.
“Mas, Dian sama sekali enggak merasa diacuhkan sama Ayah. Dian punya Mas, dan itu cukup”
“Sayangnya, mulut dan hati kamu enggak pernah sama. Kamu boleh bilang gitu di depan banyak orang, orang mungkin percaya. Tapi jika kamu bilang seperti itu di hadapan Mas, dengan berat hati Mas bilang, Mas sama sekali enggak percaya!”
“Mas boleh enggak percaya. Tetapi Mas harus ingat, karma itu nyata! Gimana kalau nanti ….”
“Enggak akan ada yang bisa nyentuh kamu. Mereka yang berani nyentuh kamu, sama artinya dengan mereka menyerahkan diri untuk Mas habisi, dan mengirim mereka ke pemakaman!” Dirga menatap dalam mata Diandra.
“Mas pergi dulu. Titip Ibu, jam 8 mas pulang!” Dirga mencium kening Diandra sekilas, lalu bergegas pergi.
***
Dengan perlahan, Diandra memasuki kamar Ibunya. Menatap pilu sang Ibu yang tengah duduk termenung di atas kasur. Dengan penuh sesak, Diandra menghampiri Sang Ibu.
“Bu,” panggilnya lirih.
“Ada apa?”
“Ayo makan,” ajak Diandra.
“Nanti saja, tunggu Masmu pulang.”
“Tapi bu?”
“Tunggu Masmu pulang!” teriak Ibu. Diandra hanya pasrah, lalu bergegas meninggalkan kamar Sang Ibu.
***
Dirga harus rela terjebak di tempat seromantis tepi danau sore itu. Dia dan sang kekasih duduk di bawah sebuah lampu kuning redup yang cantik.
Mata kelam Dirga tajam memaku hanya pada kilauan permukaan danau. Sedari awal abai dengan kekasihnya yang tidak hentinya memanggil Dirga dengan ungkapan sayang.
“Makasih sayang, malam ini aku bahagia,” ucap seorang gadis dengan gaun a-line pink yang cantik, rambut hitam panjangnya terurai, dengan loafer hitam anggun dan dandanan yang berlebihan. Nama gadis itu Mella, calon korban ke-4 Dirga bulan ini.
“Hem,” jawab Dirga tak acuh.
“Kamu suka ke sini ya?”
“Iya.”
“Tempatnya enak, pantes kamu suka ke sini.”
“Udah? Kalau udah selesai ayo pulang. Aku capek!” ucap Dirga ketus.
“Kamu kenapa sih? Ketus banget!” sentak Mella.
“Kenapa? Gak suka? Yaudah putus aja kalo gitu!”
“Kamu apa-apaan sih! Masa gitu aja putus, aku minta maaf!”
“Satu hal yang perlu lu tau, gua gak suka cewek cerewet kaya lu! Kita putus!”
Dirga meninggalkan Mella yang terus berteriak dan mengejarnya, bahkan tangis gadis itu sudah pecah. Bagaimana tidak, jika usia hubungan mereka baru satu minggu, dan putus hanya karena hal yang sangat sepele? Oh ayolah! Mella masih sangat menyayangi Dirga.
Bersambung...
16.06.19
Anjar-Habi🐘
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
RomanceIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."