Tengah hari bolong saat Gani pulang dalam keadaan mabuk. Lengan kirinya merangkul perempuan menor setengah telanjang. Menjijikan sekali.
Sudah tiga hari tidak pulang, begitu kembali ayah dua anak itu lagi-lagi berulah.
Terlepas dari sebanyak apa Gani berulah, Gani bisa disebut sebagai pengusaha sukses, tajir melintir, asetnya jangan ditanya lagi banyaknya. Dia ditakdirkan jadi kalangan borjuis bahkan sebelum lahir.
Selama ini, Gani pikir, uang dan fasilitas yang dia sediakan untuk anak istrinya cukup menggantikan kasih sayang yang sulit dia berikan. Omong kosong!
Gani terlanjur dijerat kusutnya pekerjaan. Begitu dia terlepas penat, alih-alih kembali ke keluarga untuk membagi lelah dan sayangnya, Gani lebih memilih keluar, berkelakar dengan beberapa kolega sambil menenggak champagne dari gelas tingginya, menikmati aftertaste kemudian menyempurnakannya dengan sepotong kecil keju. Begitu merasa lelah, Gani bisa mengakhiri pestanya di atas paha mulus pendamping sementaranya malam itu.
Dan sepertinya siang itu, Gani selesai berpesta dengan rekan bisnisnya. Pulang membawa sisa-sisa dosa, tanpa takut terlihat oleh sang istri. Atau mungkin, Gani sudah menganggapnya hal yang lumrah. Hingga dia tidak perlu mencemaskan lagi perasaan anak dan istrinya setiap dia pulang berantakan dan menjijikan seperti saat itu.
Gani salah besar. Diandra dan Dirga tidak pernah terbiasa. Dira tidak pernah menganggap tingkah suaminya sebagai hal yang lumrah.
Setiap melihat tingkah Gani, sakit kembali menyeruak dari bekas luka yang tidak kunjung mengering. Dira mungkin sanggup untuk menahan isyarat sakitnya, tapi tidak bagi Diandra.
Siang itu Diandra memilih lari, menghindar dari setiap adegan romantis Gani dan artis-nya. Berteguh hati meninggalkan Dira seorang diri, yang diam-diam memasang telinga, mengais-ais suara rayuan suaminya untuk wanita lain.
Dira rindu Gani.
Rasa nyata yang selalu kembali tumbuh tidak peduli seberapa banyak Dira memangkasnya.
***
Diandra tahu betul. Lari dari masalah tidak akan membawanya ke kehidupan yang lebih indah. Namun, siang itu, hangat matahari merayu Dian untuk tetap tinggal di taman. Barang sebentar menikmati kesendirian, sambil mengupayakan ketenangan yang dibutuhkan hatinya.
Hingga petang menjelang, Diandra tetap bertahan. Tanpa tahu, bahwa Dirga kini sedang dirundung sesak. Dirga yang mendapati Dira seorang diri di rumah, menjauh, tidak sanggup jika harus berlama-lama di pelukan sang Ibu. Dira yang menangis, Dira yang berkeluh kesah, Dira yang terluka karena Gani, adalah kelemahan Dirga.
“Ibu rindu, Nak. Tolong jangan menjauh lagi.”
Semakin lemah, saat Dira kembali mengingatkannya. Tentang cacat yang hingga kini menyiksa Dirga paling kejam. Inginnya memeluk Dira, maunya menatap lekat wajah Dira, menghafal setiap garis lembut wajah wanita yang melahirkannya. Namun, Dirga tidak mampu.
“Dirga di sini, Ibu.”
Dirga hanya sanggup memeluk Dira sekejap, sebelum sesak napas hebat kembali mengalahkannya setiap kali Dirga melihat langsung Sang Ibu. Mata tajam Dirga memejam, tekadnya ternyata belum cukup kuat untuk mengalahkan ketakutannya sendiri.
Rindu Dirga pada Dira menggunung. Dan rasa itu perlahan menyiksanya.
Dirga lari, dia butuh pelampiasan, sejauh mungkin menghindar dari Dira. Dengan napas satu-satu, Dirga dan motor sport naked-nya berujung di taman yang sama di mana Diandra berada.
***
Dari tempatnya duduk, Diandra bisa mendengar teriakan perempuan. Memanggil-manggil nama yang Diandra kenal sambil sesekali menarik ingusnya.
Korban Dirga yang kesekian, pikir Dian.
Di ujung jalan, Dian bisa melihat Dirga dengan tunggangannya menghilang di tikungan. Lagi-lagi meninggalkan anak gadis orang lain dengan keadaan yang memprihatinkan.
Lantas, gadis enam belas tahun itu berinisiatif mewakili Dirga untuk meminta maaf. Dia mendekat, kemudian duduk di sebelah perempuan putih berambut coklat yang sampai sekarang masih terisak.
“Diandra, nama kakak siapa?” Tangan kanan Diandra terulur.
“Kayla, aku lagi gak mood buat cari kenalan baru.”
Kayla membersihkan sisa air matanya, menyeka mata bengkaknya dengan tisu, kemudian merapikan poni coklatnya yang sedikit lepek. Tanpa sekali pun berniat menyambut uluran tangan Diandra.
“Dian adiknya Mas Dirga, Kak. Maafin, Mas Dirga ya, Kak.”
“Jadi, Dirga punya adik?”
Diandra mengangguk ragu. Semoga niat baik Diandra kali ini tidak akan menyeret kemudian menjebaknya dalam situasi yang tidak pernah dia duga sebelumnya.
Bersambung
29.06.19
Habi🐘-Anjar
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
RomanceIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."