Malam ini udara lebih dingin dari biasanya. Namun, hal itu tak membuat Dirga bergegas masuk ke dalam rumah untuk menghangatkan tubuh. Dirga masih setia berdiri di balkon kamarnya. Menatap langit yang mendung dengan air mata yang enggan untuk berhenti. Di sekelilingnya abu rokok bertebaran. Entah sudah berapa banyak rokok yang ia hisap, yang Dirga tahu ia hanya ingin lekas menghilangkan sesaknya.
Sejak seminggu lalu, tepatnya saat Dirga menemukan Diandra dalam keadaan mengenaskan, Dirga terus memikirkan siapa yang melakukan ini? Apa tujuan mereka melakukan ini? Pemerkosaan di sebuah hotel berbintang. Sangat tak masuk akal jika itu terjadi hanya sebatas nafsu. Semua yang menimpa Diandra seakan telah direncanakan. Bahkan Diandra terus meracau menyebut “mereka” dan dapat dipastikan bahwa tersangkat lebih dari 1 orang. Tapi siapa? Apa tujuannya? Apa motifnya? Apakah ini menyangkut dirinya? Semua semakin memusingkan di kala Dirga tak juga menemukan jawabannya.
“Trauma yang dialami Diandra sangat hebat. Sehingga dibutuhkan usaha extra untuk memulihkan kondisi Diandra seperti dulu.”
“Jangan meninggalkan Diandra sendiri, karena ia bisa berbuat nekat, dan membahayakan nyawanya.”
“Pergi kalian! Pergi!”
“Brengsek! Lepaskan! Sakit!”
“Untuk sementara jangan menemui Diandra dulu, dia masih belum bisa menerima kehadiran laki-laki di sekitarnya.”
“Bawalah Diandra ke psikolog. Kejiwaannya perlu perhatian khusus.”
Semua kata-kata itu terus terngiang di otak Dirga. Penjelasan Dokter Syilla yang menangani Diandra waktu itu, racauan Diandra, saran Dokter Syilla. Semua kata-kata itu seakan ikut menyiksa Dirga.
Arghhhhhh
Pyarrrr
Bersamaan dengan teriakan Dirga, suara pecahan kaca terdengar. Pintu kaca penghubung balkon dan kamarnya itu kini pecah. Hancur tak berbentuk. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Dirga.
Bughh
Dirga mendudukan kasar tubuhnya ke lantai. Mengabaikan serpihan kaca yang berserakan di sekitarnya. Untuk kesekian kalinya, air mata Dirga tumpah hari ini.
“Yessa, dosen Psikologi.”
Entah kenapa, nama itu tiba-tiba melintas dalam pikirannya. Apakah ia perlu membawa Diandra ke dosen tersebut? Tapi, apakah Yessa itu mau menolong?
Lina. Ya, Lina. Dirga harus meminta bantuan Lina untuk mencari tahu tentang Yessa. Dosen Psikolog termuda di kampus tersebut.
Dirga bergegas bangkit, berjalan cepat menuju kasurnya, dan mengabaikan serpihan kaca yang menempel di kakinya. Diraihnya ponsel berlogo apel tergigit yang tadi ia geletakkan begitu saja di kasur. Tangannya berselancar dengan lihai di atas layar ponsel tersebut, dan membawanya kepada room chat yang ada disalah satu sosial media Dirga.
Kuli Elit Group
Dirga PH
YANG BUTUH DUIT, MASUK!
Bamz Ganz
Ketika orang jenius kesambet setan bego. Ya gini nih.
Danu PT
Anak kosan butuh pemasukan nih.
Galuh YZ
Gua siap ngirim norek nih
Dirga PH
Cariin gua Jurnal tentang psikologi sebanyak-banyaknya. 50k untuk jurnal dan 100k untuk jurnal + terjemahan.
Gilang
Lah makin bego si Dirga. Lu pindah jurusan atau gimana?
Bima
Gua gak salah masuk grup kan?
Yuda
Dir, sehat lu?
Bobi
Curiga gua, cita-cita lu jadi psikolog malah terdampar disini
Dirga PH
Gausah bacot, gua tunggu sampe besok!
Dirga meletakkan ponselnya begitu saja di atas kasur, mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. Dirga membanting tubuhnya sendiri ke atas kasur. Memejamkan mata mungkin pilihan terbaik saat ini. Dia butuh tenaga lebih untuk besok. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa menemui Yessa dan meminta pertolongan Yessa untuk adiknya.
***
Belum lama Dirga memejamkan mata, seseorang memasuki kamarnya dengan menendang pintu kamarnya dengan keras. Dirga yang terkejutpun, langsung bangun dari tidurnya.
Plak
Sebuah tangan kekar menyentuh pipinya keras, meninggalkan bekas merah bahkan menimbulkan darah di sudut bibirnya.
“Bodoh! Menjaga adikmu saja tidak bisa! Kemana saja kau, hah?!” maki orang tersebut. Dirga hanya diam, memijat pelipisnya perlahan.
“Mas Gani!” suara ibunya terdengar bergetar. Mendekati sosok yang menampar Dirga tanpa permisi -Gani.
“Wanita bodoh! Lihat! Didikan apa yang kamu terapkan untuk anak ini hah? Sampai-sampai ia tak becus menjaga adiknya! Dan sekarang, adiknya kehilangan mahkotanya, dan anak gak berguna ini hanya diam dan enak-enakan tidur!” rahang Dirga mengeras.
Bugh
Mengabaikan darah yang baru mengering, Dirga kembali menghantamkan tangan itu ke tembok terdekat.
“Kalau saya tidak berguna, lantas sebutan apa yang pantas untuk anda? Kejadian itu sudah seminggu yang lalu, dan anda baru datang sekarang? Ayah macam apa anda? Hah?!” teriak Dirga marah.
“Di mana sopan santun mu hah? Kamu bertanya saya ke mana? Saya kerja! Buat kamu! Buat adik kamu! Buat kalian!”
“Kerja? Kerja di dalam kamar bersama wanita penghibur yang berganti setiap sejam sekali?” Senyum sinis terpatri diwajah sayu Dirga.
“Dirga, sudah nak. Sudah.” Dira berusaha menenangkan sang anak, namun gagal. Emosi sudah tersulut di antara dua pria beda generasi ini.
“Tutup mulutmu!”
“Anda yang harusnya tutup mulut! Setelah berhari-hari tidak pulang, tiba-tiba anda datang kekamar saya, memukul saya seenaknya. Dimana hati anda sebagai ayah hah?”
“Kurang ajar!”
Bugh
Bugh
Bugh
Pukulan bertubi-tubi diterima oleh Dirga. Dia tak melawan, dia menerima semua pukulan itu. Hingga dipukulan terakhir, ia tak merasakan sakit. Dan sedetik kemudian matanya terbelalak tak percaya.
“Brengsek!” teriak Dirga murka.
Bersambung
02.07.19
Anjar-Habi🐘
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
RomanceIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."