Dirga telah tiba di rumah tepat saat adzan magrib berkumandang, menatap setiap sudut rumah yang kini terasa semakin sepi. Dirga heran, biasanya Diandra akan menyambutnya jika ia pulang, namun ke mana anak itu sekarang?
“Dian?” Dirga memanggil nama Dian, namun tak ada sahutan. Berulang kali Dirga memanggil nama sang adik, namun hasilnya tetap sama. Hingga ia mendengar suara gaduh berasal dari kamar Ibunya, dengan sigap Dirga segera bergegas menuju kamar sang Ibu.
Untuk sejenak, Dirga terdiam di depan pintu kamar Dira. Bagaimanapun juga, sesak itu masih terus saja menghimpit dada Dirga saat ia bertatap muka dengan Dira. Namun, ia pun khawatir, ada apa dengan ibunya. Sehingga Dirga pun akhirnya memberanikan diri masuk dan menemui Dira.
“Bu,” panggil Dirga lirih, namun Dira mendengarnya. Ia menatap sosok yang kini berada di ambang pintu kamarnya. Sosok yang kini sangat jarang ia sentuh, bahkan ia tatap.
“Dirga.” Tangis Dira semakin pecah, melalui gerakan tangannya, Dira meminta Dirga untuk mendekat.
Dengan gerakan yang sangat lambat, Dirga pun mendekat, dan tanpa diduga, Dira langsung menarik Dirga dalam pelukannya.
“Ibu rindu, Nak. Tolong, jangan menjauh lagi.”
***
Sosok gadis remaja tengah duduk termenung di sebuah taman dekat rumahnya. Entah untuk satu, dua, atau bahkan puluhan alasan membuat ia enggan beranjak dan lekas pulang. Entah sejak kapan, air matanya terus mengalir. Menjadi bukti bahwa ia berada dalam posisi yang sangat jauh dari kata baik.
“Sampai kapan keluargaku berjalan seaneh ini?” Dia tersenyum miris. Sosok itu adalah Diandra.
Diandra memilih bertahan di sini, entah untuk berapa lama. Ia lelah, topeng yang ia gunakan tidak mungkin selamanya ia pakai, ia bahagia dengan adanya Dirga, namun ia tidak bisa munafik. Bahwa ia, seorang anak, akan cacat tanpa salah satu dari orang tuanya.
“Tuhan, untuk ke sekian kalinya aku mohon. Beri aku kekuatan lebih lagi. Bantu aku bertahan dan bantu aku percaya bahwa semua akan baik-baik saja.”
***
Pukul tujuh Dirga meninggalkan rumah, setelah menghabiskan tenaganya untuk menemani Dira, yang membuat ia tidak bisa bernapas dengan normal hingga detik ini. Sesak. Sangat sesak. Rasa yang Dirga rasakan sangat bercampur aduk. Ia bahagia bisa menghabiskan sedikit waktunya untuk bersama ibunya, namun di sisi lain, sesak di dadanya semakin menyiksa.
Saat ini, Dirga tengah duduk di sebuah taman kecil. Dia kembali membuat janji dengan wanitanya. Entah wanita keberapa yang ia temui hari ini.
“Sayang, maaf aku lama.” Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seorang gadis sudah memeluk manja Dirga, lalu mengecup pipi Dirga tanpa permisi. Dirga yang diperlakukan seperti itupun merasa risih.
“Lepas, gua gak suka!” ucap Dirga ketus, sedangkan wanita itu mengerucutkan bibirnya kesal.
“Kamu kenapa sih?”
“Kenapa? Lo nanya gua kenapa?” Dirga tersenyum sinis. “Gua udah bilang ke lu, jangan pernah peluk gua! Jangan pernah sentuh gua! Dan jangan pernah ada skinship sama gua! Apapun itu bentuknya!” ucap Dirga murka, wanita itu hanya tertunduk kaku, dan menatap Dirga tak percaya.
“Sayang….”
“Diam!” teriak Dirga, entah apa yang membuat Dirga semurka ini.
Tanpa banyak bicara lagi, Dirga memutuskan untuk pergi dari sana, meninggalkan sang gadis yang masih terus meneriaki namanya dan mengejar laju motor Dirga.
Dan malam ini, Dirga bahagia karena telah berhasil menghancurkan kembali hati seorang gadis.
Bersambung
27.06.19
Anjar-Habi 🐘
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
RomanceIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."