Kaki Dirga gemetar hebat begitu mendapati ruang tamu rumahnya kacau berantakan. Siapa lagi pelakunya jika bukan Gani. Benak Dirga kini hanya dipenuhi oleh Dira dan Diandra. Khawatir akan keadaan mereka berdua, alih-alih mencari keberadaan Gani untuk menuntut penjelasan. Karena yang terpenting sekarang adalah Ibu dan adiknya.
Masa bodoh Gani dengan segala tingkah setannya.
Perlahan, dengan menahan nyeri dada, Dirga menghampiri kamar Dira. Tanpa ragu, Dirga mengetuk. Sampai pada kali ketiga Dirga mengetuk dan tidak ada jawaban dari Dira. Dirga mulai cemas, panggilannya tidak berbuntut jawaban, dan dia terlalu takut untuk membuka pintu kamar sang Ibu. Khawatir jika apa yang pernah dia lihat di masa lalu kembali tertangkap matanya.
Adegan mengerikan saat Dira babak belur oleh tangan Gani, saat hati Ibunya hancur oleh lidah Gani yang tajam. Dirga ikut sakit, hatinya menyertai setiap rintih kesakitan Dira.
Gambaran tragedi itu berakhir menerobos masuk pada setiap lubang memori Dirga. Melekat erat, sampai-sampai setiap tarikan napas Dirga mengingatnya dengan jelas.
Sungguh, Dirga tidak ingin melihatnya lagi.
Namun, seperti sebelum-sebelumnya, Dirga merasa tidak pernah diberi sebuah pilihan. Selain merasakan sakit. Jadi apa yang dia harapkan sekarang? Terselamatkan dari semua rasa yang selama ini menyiksa, terlalu mewah untuknya.
Dirga tercipta sebagai pecundang, petarung yang ditakdirkan kalah.
Perasaannya sekarang tidak lebih penting dari Ibu dan Adiknya. Maka, Dirga putuskan untuk meremas erat pegangan pintu, dan membukanya perlahan.
“I … Ibu ….”
Kaki Dirga lemas, dia jatuh bertumpu pada kedua lututnya. Lidahnya kaku, kelu hanya untuk memanggil Dira yang tergeletak di lantai. Mata Dira terkunci rapat, di antara sebaran pil putih tubuhnya terbujur tidak bergerak.
Susah payah Dirga menutup kembali pintu kamar Dira. Napas Dirga tercekat. Di tengah sengal, Dirga berusaha menghubungi nomor darurat.
Ibunya harus bertahan.
Ibunya harus selamat.
***
Di depan pintu IGD Dirga masih menangis pilu. Tanpa suara dengan napas satu-satu. Masker oksigen yang sekarang dia kenakan pun tidak banyak membantu.
“Jangan ditahan, menangis saja yang keras! Sakit, kecewa, takut, bahagia sekalipun, harus kamu ungkapkan, Dirga. Harus coba kamu luapkan, dengan begitu kamu bisa bernapas lebih lega.”
Tidak lagi ditemani sepi, saat ini ada Yessa di samping Dirga.
Tepat saat Dirga sampai di rumah sakit, pesan Yessa yang berisi nomor rekeningnya dan kalimat sapaan singkat, datang. Masa itu, Dirga yang dirundung tragedi dan sakitnya sendiri tidak punya pilihan selain merendah, memohon pertolongan Yessa.
“Halo, Bu Yessa. Tolong … tolongin saya, Bu ….”
Isak pilu Dirga, suaranya yang bergetar terbata, benar-benar mengganggu hati Yessa. Baru tadi siang mereka berpisah, dan sekarang anak itu membuat Yessa kembali cemas, khawatir pada apa yang menimpanya.
Tanpa perlu pikir panjang, Yessa yang saat itu baru pulang dari bandara untuk mengantar sang suami, banting setir menuju Dirga.
“Kamu kenapa? Dimana kamu sekarang, Dirga?”
Ruang dingin IGD lah tempat di mana Yessa berakhir. Menemani Dirga yang sejak awal kedatangannya bungkam, hanya tangis juga kesakitan setiap kali anak itu menarik napasnya.
Yessa tidak tahu siapa yang tengah berjuang di dalam IGD. Sampai-sampai Dirga begitu terpukul karenanya.
Yang Yessa tahu, Dirga butuh pertolongan, Dirga butuh lebih dari sekadar tolan untuk menemaninya.
Dirga butuh dirinya.
Bersambung...
22.07.19
Habi🐘-Anjar

KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
RomanceIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."