Dirga sengaja menutup mata dan hatinya. Urusan hati orang lain, mana dia peduli. Dia hanya ingin melihat perempuan lain menangis. Dia hanya ingin menyaksikan perempuan lain kesakitan oleh cinta. Dirga tidak rela jika hanya Ibu dan Adiknya yang menanggung rasa sakit itu sendirian.
Berulang kali Dirga sampaikan pada Dira--Ibunya--bahwa Dirga baik-baik saja, dia tidak apa-apa. Jadi Dira bisa berpisah dengan Gani dan mereka bertiga bisa hidup bersama. Bahagia. Tanpa sakit yang menyiksa jiwa.
Namun, Dira enggan. Entah apa yang jadi pertimbangannya. Apa yang dia sayangkan dari lelaki penuh cela seperti Gani? Dirga tidak pernah mengerti.
Tidak tahukah Dira, saat dia bertahan tanpa alasan, ada Dirga dan Diandra yang perlahan tersakiti. Terluka begitu parah menyaksikan Dira diabaikan. Tersiksa mendengar rintihan Dira di setiap malam kelam.
Selangkah demi selangkah, Dirga didorong pada sudut hatinya yang dingin, gelap, tanpa celah. Tanpa sadar membangun perisai kuat, berlapis rasa sakit, rasa takut, dan kemalangan lain yang Dirga dapatkan dari kehancuran keluarganya.
Semua rasa itu menghanyutkan Dirga, membawanya sampai pada masa di mana rasa sakit menjadi sekadar rasa. Tidak bisa menyakiti Dirga. Lalu kemudian dia ubah jadi senjata.
Dirga berontak, pada apapun yang dia pikir ikut terlibat dalam usaha menghancurkan keluarganya. Mencari-cari alasan yang dia gunakan untuk menyakiti perempuan lain di luar sana, sebab dia tidak terima jika hanya Ibu dan adik perempuannya yang jadi korban.
Maka, malam itu, setelah dengan kejam Dirga mengoyak paksa perasaan Mella, dia termenung entah di mana. Dirga mengemudikan Trailblazer hitamnya tanpa tujuan, kemudian berhenti di salah satu jalanan kota Bandung yang sepi.
Raut tegas Dirga tidak terbaca. Dirga tidak sedikit pun menyesal, apalagi merasa bersalah. Ponsel yang sedari tadi bergetar gaduh, dia acuhkan. Selain puluhan panggilan tidak terjawab, dan belasan pesan dari Mella, ada pesan lain dari Diandra. Menanyakan keberadaan Dirga, juga jam berapa dia akan pulang.
Dirga menjawabnya singkat, sebelum dia beralih pada pesan lain yang belum terbaca. Dari siapa lagi kalau bukan teman-teman wanitanya. Nisa, Novi, Lina, Ratna, banyak. Dirga bahkan tidak hafal wajah mereka. Mengiyakan semua ajakan untuk bertemu dan diakhiri dengan tanda hati berwarna merah. Tidak lama, dia mendapat balasan ungkapan sayang bertubi-tubi.
Novi
Sayang kamu, DirgaNisa
Luv u bae …Lina
Nite hunnieRatna
Makin cinta ih sama kamuDirga memang jawaranya.
***
Dingin malam makin menggigit saat Dirga menginjak rumah. Ada Diandra menunggunya. Duduk di ruang tamu, disibukkan oleh Orang-orang Biasa. Entah sudah berapa kali Diandra mengkhatamkannya. “I’ve lost count.” Begitu ujarnya setiap kali Dirga bertanya.
Diandra sengaja berjaga malam itu. Dira belum makan sejak sore dan itu karena Dirga. Dira menunggu Dirga pulang, tapi yang ditunggu baru sampai rumah setelah tengah malam. Merepotkan sekali.
“Mas kemana aja? Ibu belum makan tuh, nungguin Mas katanya.”
Rampung menyimpan buku-bukunya di rak bawah meja, Diandra bangkit mengambil makan malam Dira yang terlanjur dingin. Dia berjalan cepat, coba mengimbangi langkah lebar Dirga ke kamar Dira.
“Eitsss stop!! Mas mau apa? Jangan macem-macem lah!”
Diandra menghentikan Dirga yang berniat masuk ke kamar Dira. Tangan kanannya menarik ujung trucker jacket Dirga, menariknya mundur, menjauh dari pintu.
“Ngomong aja dari luar, Mas. Jangan masuk pokoknya! Dian enggak mau ngurusin Mas yang sesak napas malam-malam gini.”
Menuruti kata adiknya, Dirga urung melangkah masuk kamar Sang Ibu. Dia berdiri kaku di depan pintu. Menunggu kode dari Diandra hingga dia bisa bicara dengan Dira.
“Mas, Ibuk udah bangun,” teriak Diandra dari dalam.
“Bu, ini Dirga udah pulang. Ibu makan ya,” pinta Dirga. Suaranya bergetar aneh, ingin sekali menangis rasanya.
“Iya, sayang. Lain kali jangan pulang kemalaman, Ibu khawatir.”
Dan malam itu, Dirga berakhir dengan meneteskan air mata. Di depan sebuah pintu mindi setebal lima senti ternyata ada jarak membentang yang memisahkan Dirga dengan Sang Ibu.
Bersambung...
18.06.19
Habi🐘-Anjar
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
RomanceIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."