KALAH-16

1.1K 115 11
                                    

Hujan pertama di bulan Juli, jatuh bersamaan dengan derai air mata Dirga. Rinai yang semula jarang pun kecil, kian menderas. Sampai-sampai pohon mangga di sebelah kamar Dira terhuyung-huyung. Derasnya mematahkan ranting-ranting kecil, anginnya membuat dedaunan pupus, kemudian jatuh untuk merelakan diri mereka hanyut.

Dirga yang saat itu tengah duduk termangu di balkon kamar Dira bertanya-tanya. Layaknya ranting dan dedaunan itu, bisakah Dirga ikhlas melepaskan salah satu kebahagiaan Dira? Yakni Gani. Laki-laki yang begitu Dira cintai. Sosok yang selalu Dira rindukan, walau kedatangannya selalu membawa serta lara. Dirga tahu, Dira tidak pernah peduli.

Luka-luka Dira lah yang mengajarkan Dirga apa itu cinta. Bagi Dirga, cinta hanya seputar sakit dan menyakiti, melulu tentang luka dan rentetan pilu yang menguras air mata.

Sialan memang!

Tanpa sadar, Dirga tersenyum getir. Air matanya mengering, lesap oleh angin dingin sore itu. Yang dengan lancangnya membawa kembali pada ingatan Dirga di hari sebelumnya. Saat Dirga melepaskan Nisa, membebaskannya dari lelaki busuk seperti dirinya.

Nisa bukan main, Dirga geleng-geleng tidak percaya menyaksikan sendiri betapa tangguhnya Nisa. Perempuan kecil itu menampakan kesedihannya, Dirga bisa melihatnya dengan jelas. Tetapi, Dirga akui, Nisa perekayasa rasa yang hebat, pengendali tutur juga laku yang begitu lihai.

“Jadi? Kamu putusin Aku cuma karena Dia?”

Sedikit pun Dirga tidak menangkap getar dari suara Nisa. Nisa begitu tenang, bulat matanya fokus pada Dirga dan Novi yang duduk di hadapannya. Sementara telunjuknya mengarah pada Novi yang duduk sibuk dengan ponsel, paling sedang menonton siaran ulang bulu tangkis.

Dirga mengangguk kecil. Respon Nisa tidak terduga, lagipula kala itu Dirga tidak lagi menginginkan tontonan kesedihan yang biasanya mampu menambah energinya. Dirga tidak punya alasan untuk mendapatkan itu dari Nisa.

“Ok, ini bukan sesuatu yang perlu diributkan. Lagipula aku bukan tipe yang rela membuang-buang waktu dan tenaga hanya untuk hal yang tidak lebih berharga dari semeter brokat kwalitas semi prada.”

Dirga kembali mengangguk. Sedang marah pun, Nisa masih sempat melibatkan kain dan sanak kadangnya. Kelak, Nisa pasti bisa menjadi perancang busana yang sukses.

“Maaf, Nis.”

Nisa yang semula beranjak pergi, terhenti.

“Ganti permintaan maafmu dengan sesuatu. Jadilah modelku setiap kali aku membutuhkannya!”

Mata Dirga membola, kaget tentu saja. Selama Nisa menjadi kekasihnya tidak sekali pun Dirga mengiyakan permintaan Nisa yang satu itu. Kenapa sekarang, saat hubungan mereka berakhir Dirga harus melakukannya?

“Kenapa, Ga? Keberatan? Kalau kamu minta maaf, itu artinya kamu merasa bersalah, ‘kan? Trus, apa salahnya sama permintaanku? Kecuali kalau ternyata permintaan maaf kamu yang tadi enggak tulus, sih.”

Dirga bisa melihat dengan jelas bagaimana Nisa mengedikan bahunya tidak acuh. Mau tidak mau, Dirga harus menuruti permintaan Nisa. Dia memang busuk, tapi bukan lelaki plin-plan yang meminta maaf tapi sedetik kemudian menarik kata-katanya hanya karena sesuatu yang tidak ingin dia lakukan.

Karena itu, Dirga mengangguk, mengiyakan permintaan Nisa dengan senyuman hangatnya.

“Kapanpun kamu butuh, Nis. Just let me know!”

Melepaskan Nisa tidak lantas membuat Dirga lebih tenang. Sebab setelah Nisa, ada si sensitif Lina. Dirga bingung memikirkan metode yang tepat untuk mengakhiri hubungannya dengan Lina.

Mengajak Novi yang judes itu bukan pilihan yang bijaksana. Bisa-bisa Lina menangis histeris hanya dengan sepatah kata dari si ketus Novi.

Maka, setelah di pagi harinya Dirga meminta bantuan Novi, pada siang harinya Dirga memilih Ratna untuk dijadikan mitra. Setelah jam makan siang, mereka berdua menunggu Lina di lahan parkir fakultas kedokteran.

Keduanya masih duduk tenang di dalam Trailblazer Dirga. Mesinnya masih menyala, Dirga juga masih sibuk dengan ponselnya, saat tiba-tiba Ratna melontarkan pertanyaan.

“Cewek kayak Mbak Lina kurangnya apa sih, Ga? Tega banget mau mutusin dia!”

Dirga berdeham, menanggapi pertanyaan Ratna berbeda dengan cara Dirga merespon Novi. Dirga tidak bisa menjawab pertanyaan Ratna dengan candaan ringan, atau Dirga akan berakhir pulang dengan kepala benjol.

“Gue udah kalah, Rat.”

“Kalah gimana?”

Perangai angin siang itu sungguh tidak terduga, yang semula tenang mulai berhembus cepat, menabrak pohon beringin tepat di sebelah mobil Dirga berteduh. Gemuruh suaranya Dirga suka.

Dia tersenyum, menggeleng kecil untuk menjawab pertanyaan Ratna, kemudian melanjutkan, “Lina berhak mendapatkan laki-laki baik, Rat.”

Kini dia menunduk, menjatuhkan pandangannya. Tidak ada rasa lain yang lebih menguasai Dirga, selain penyesalan.

Tangan Ratna terulur, menepuk punggung Dirga, bersimpati pada langkah berani yang diambil Dirga.

Dirga berani mengaku kalah, kemudian bersikap jantan dengan menerima segala konsekuensi yang datang bersamaan dengan kekalahannya, termasuk kehilangan Nisa dan Lina sekaligus.

“Momennya pas banget, Ga.”

Dari selasar, Lina berdiri kaku menyaksikan kedekatan Ratna dan Dirga. Air matanya mengalir begitu saja. Lina tahu, Dirga cowok kurang ajar yang suka menyakiti perasaan cewek. Dan sekarang, tibalah gilirannya. Padahal sebelumnya Lina sempat berharap hubungannya dengan Dirga akan baik-baik saja, karena tidak seperti dengan cewek lain, hanya bersama Lina, Dirga bisa bertahan lebih dari satu bulan.

Sejak Ratna bergegas turun dari mobil untuk mengejar Lina dan menjelaskan semua yang terjadi, Dirga tahu hubungannya dengan cewek sebaik Lina pun akan segera berakhir.

Bersambung
22.08.19
Habi🐘-Anjar

# Mulai minggu depan KALAH update seminggu sekali aja yah,  setiap malam jumat. Karena tabungan chapternya menipis.

KALAH ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang