Dirga kembali meraba dadanya, semakin nyeri saja rasanya. Semalam setelah kejadian Gani tidak sengaja memukul Dira, Dirga kalap. Baku hantam antara ayah dan anak itu tidak bisa lagi terelakan. Seberapa keras Dira berteriak untuk melerai, namun tidak satu pun yang mendengar. Dirga mendapat pukulan bertubi-tubi dari Gani. Pelipisnya sobek, ujung bibirnya berdarah, belum lagi memar yang Dirga temukan keesokan harinya.
Paling parah adalah di bagian dada sebelah kanan Dirga. Ada memar lebar, berwarna biru keunguan. Ketika bangun tidur keesokan harinya, Dirga nyaris tidak bisa bangkit. Nyerinya luar biasa, apalagi saat Dirga mencoba menarik napas.
Seingat Dirga, Gani memang sempat menendang area dadanya saat Dirga terjatuh karena dorongan Dira yang coba menghentikan mereka. Tetapi Dirga tidak menyangka akan separah ini efeknya.
Tidak banyak yang bisa Dirga lakukan. Pagi itu dengan selembar handuk kecil dan air hangat, Dirga membasuh lukanya sambil sesekali meringis kesakitan. Mengenakan kemeja Armani Striped lengan panjangnya dengan sangat hati-hati, selepas itu Dirga kembali duduk di ranjangnya. Terengah, dengan bulir keringat membasahi wajahnya yang pucat.
Hari ini Dirga harus ke kampus. Jurnal yang dia butuhkan sudah terkumpul, dan pastinya teman-teman Dirga sudah menunggu hasil kerja keras mereka semalaman untuk segera ditebus. Tetapi, sakit di dada Dirga sulit dia tahan. Sekadar untuk duduk saja sakit, apalagi untuk berjalan dari parkiran ke gedung fakultasnya.
Dirga berniat untuk mengundur janji temu dengan teman-temannya pagi itu, sebelum Lina mengirimkan pesan singkat.
Lina
Dirga ngampus gak? Kalo iya, sekalian aku bikinin sarapan soalnya aku ada janji sama Bu Yessa siang ini.Dirga
Bikinin yang enak, aku jalan sekarang.Lina
Ok, sayang 😙Susah payah Dirga berjalan dari parkiran hingga ke kantin fakultas teknik. Nyeri di dadanya tidak kunjung reda, tapi sebisa mungkin Dirga tahan karena ada sesuatu yang harus dia lakukan. Jurnalnya akan segera terkumpul, dan Yessa hari ini hadir, Dirga tidak boleh melewatkan kesempatan itu.
Begitu Dirga menginjakan langkahnya di kantin sudah ada Novi dan Ratna duduk di meja di mana Dirga biasa duduk. Kakak beradik itu sibuk dengan urusan masing-masing. Sampai-sampai mereka tidak sadar sudah ada Dirga yang duduk di hadapan mereka.
“Kok gak pake salam?” tanya Ratna begitu dia melihat Dirga. Ratna, kakak perempuan Novi memang sedikit berisik perihal tata krama. Maklum, dia calon guru.
“Assalamu’alaikum, Bu Guru,” jawab Dirga cepat. Dia tersenyum kecil pada Ratna sambil mengangkat dagunya ke arah Novi. Seolah bertanya apa yang dilihat Novi hingga anak itu enggan mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel.
“Biasa, siaran ulang bola. Semalam gak bisa lihat, sibuk belajar buat responsinya pagi tadi.”
Dirga geleng-geleng tidak percaya.
“Mau makan gak? Sekalian aku mau pesan.”
“Nggak, Rat. Tadi Lina bilang mau bawain sarapan.”
“Weh … awet banget sama Mbak Lina, yang cengeng itu kan?”
Novi dan Ratna, kakak beradik yang dulunya sama-sama menyukai Dirga. Beruntungnya, mereka tidak berakhir seperti perempuan lain yang pernah menyukai Dirga. Selain karena sifat keduanya yang super cuek, Dirga juga tidak yakin sanggup menghancurkan hati kakak beradik itu. Yang ada, Dirga yang berakhir mempermalukan dirinya sendiri.
Maka, pada suatu hari, entah kapan, Dirga lupa. Mereka bertiga sepakat untuk membawa hubungan mereka ke arah yang Ratna bilang, lebih aman. Sahabatan.
Dirga setuju, Novi ok ok saja. Kemudian, anak FKIP semester tiga itu melontarkan penawarannya yang lain.
“Sahabatan tapi yang mesra ya, aku takut digangguin anak-anak FEB kalo keliatan belum punya gandengan.”
Dasar bocah gemblung!
Mereka benar-benar berakhir dengan bersahabat, benar-benar mesra. Sesekali … tidak masalah, begitu kata Ratna. Jadilah Novi dan Ratna teman yang paling dekat dengan Dirga, mereka tahu semua mantan, semua perempuan yang lagi dekat dengan Dirga, bahkan Novi biasa membantu Dirga untuk mengakhiri hubungannya dengan perempuan lain.
Cerita yang melatarbelakangi persahabatan mereka itu sempat mengambil alih perhatian Dirga. Indah, lucu, patut dikenang. Dan Dirga banyak bersyukur karena dia telah dipertemukan dengan kakak beradik antik itu.
***
Tidak lama Dirga duduk di kantin, dia menghabiskan hampir satu setengah juta hanya untuk membayar jasa teman-temannya yang mengumpulkan dan membuat terjemahan jurnal. Tentu saja jurnal ilmiah yang relevan dengan subject yang Dirga butuhkan.
Kini, dengan diantar Novi menggunakan matic merah kesayangannya, Dirga sudah duduk tenang di lahan parkir dosen FK. Tujuannya hanya satu, bertemu dengan Yessa, kemudian mengambil perhatiannya.
Dirga menunggu cukup lama, hingga akhirnya dia melihat Yessa melangkah santai menuju mobilnya.
“Bu Yessa?” panggil Dirga, dia menahan Yessa yang berniat membuka pintu mobil dan memilih berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya.
“Iya, saya Yessa. Ada perlu ….”
Yessa bahkan belum menyelesaikan pertanyaannya. Dirga sudah lebih dulu menyodorkan puluhan lembar jurnal ilmiah yang telah disimpan rapi dalam sebuah map plastik.
“Ini?”
Yessa tahu apa yang sekarang ada di genggamannya. Yang Yessa tidak pahami adalah, siapa Dirga dan apa motifnya. Bagaimana Dirga bisa tahu apa yang dia butuhkan saat ini?
Belum sempat menyuarakan rasa penasarannya, Dirga pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata pun. Yang terakhir Yessa lihat adalah wajah pucat Dirga yang tersenyum kecil kepadanya, juga bekas luka di pelipisnya.
Langkah kaki Yessa cukup lebar untuk mengejar Dirga yang terseok. Nyeri di dadanya semakin parah, Dirga juga mulai sulit bernapas. Tepat saat Yessa berdiri di belakang Dirga, Dirga jatuh pingsan.
Bersambung
10.07.19
Habi🐘-Anjar
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
RomanceIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."