Susah payah Dirga menelan sendok terakhir nasi goreng buatan Diandra. Sejak semalam tenggorokannya sakit, dan pagi ini Diandra malah masak nasi goreng super pedas.
“Mas, flu?”
“Belum, cuma tenggorokan Mas sakit banget. Paling bentar lagi flu-nya lari, takut sama nasi goreng kamu yang pedasnya level master!”
Diandra terkikik geli, dia membersihkan meja makan setelah melepas kepergian Dirga. Pagi tadi kakaknya itu mengeluh pusing, mungkin karena semalam mereka terlalu lama mengobrol di luar. Kecemasan Diandra adalah pada Dirga yang tidak pernah ingin berobat, separah apapun sakitnya.
Dirga tidak pernah peduli dengan apa yang dirasakannya. Dulu, dulu sekali, Diandra pernah mendengarnya langsung dari Dirga. Katanya, semua rasa sakit yang Tuhan jatuhkan untuknya adalah sebuah bentuk hukuman. Jadi, Dirga harus menikmatinya, bukan malah melarikan diri pada obat, membuat seolah-olah rasa sakit itu tidak pernah ada.
Hingga detik ini, Diandra tidak pernah mengerti akan hukuman apa yang Dirga sebutkan. Bagi Diandra, Dirga adalah sosok kakak yang luar biasa, yang tidak pantas mendapatkan hukuman. Kecuali pada bagian di mana Dirga yang dengan sengaja menyakiti perempuan lain. Selalu ada pembelaan untuk semua itu. Diandra punya banyak jawaban jika suatu saat ada seseorang menanyakan alasan di balik tingkah Dirga yang keterlaluan.
Bukan hanya Dirga yang bisa melindungi Diandra dan Dira. Pun Diandra, dia akan berusaha sekuat mungkin untuk melindungi sang kakak.
***
Jam sepuluh saat Dirga keluar dari ruang kelas. Matahari mulai tinggi, cukup hangat, tapi Dirga kedinginan. Tenggorokannya semakin sakit dan kepalanya berdenyut menyiksa.
Rasanya Dirga ingin segera pulang saja. Membatalkan janji temu dengan dua atau tiga, eh … mungkin empat ceweknya dan berakhir tidur pulas di ranjang. Sayangnya, di ujung koridor, Dirga sudah bisa melihat Nisa yang menunggunya.
Perempuan setinggi dada Dirga itu tersenyum hangat ke arahnya. Dia menggendong tas punggung yang sepertinya berat, sementara tangan kirinya menenteng paper bag penuh dengan bermeter-meter kain.
Nisa adalah mahasiswi jurusan tata busana yang Dirga klaim sebagai kekasihnya sejak dua minggu yang lalu. Jauh sebelum Dirga menyatakan cinta pada Mella.
Nisa baik, dia penyabar, juga pengertian. Dan Dirga berniat untuk membuat Nisa jatuh semakin dalam oleh pesonanya.
Semakin dekat, tangan kanan Dirga dengan cekatan mengambil alih bawaan Nisa. Gadis itu tersenyum, tersipu oleh perhatian kecil Dirga yang menyenangkan.
“Ngapain jauh-jauh ke sini? Tungguin aja di kantin fakultas kamu!”
Nisa masih tersenyum, langkah kecilnya terayun cepat mengikuti Dirga. Diam-diam mengamati punggung tegap Dirga, kemudian tanpa sadar mulai mengimaji busana yang cocok untuk Dirga. Dasar calon desainer!
“Mau makan apa?”
“Siomay. Jangan pedas ya, Ga.”
Dirga mengangguk, meletakkan paper bag Nisa di dekat kaki meja kemudian berlalu untuk memesan makanan. Hingga sepuluh menit lamanya, Dirga kembali. Dia membawa sepiring siomay dan dua gelas teh hangat manis untuk mereka berdua.
“Kamu enggak makan, Ga?”
“Lagi enggak enak buat makan.”
“Sakit ya? Kamu kok pucet gitu?” Tangan Nisa terulur, berniat memeriksa suhu badan Dirga. “Boleh?” Dirga mengangguk, baru Nisa melanjutkan gerakannya. Nisa memang selalu sesopan itu, menjadi salah satu alasan kenapa Dirga mempertahankan hubungan mereka selama ini.
Tangan kanan Nisa menyentuh dahi Dirga lembut, merasakan panas Dirga yang lebih tinggi dari suhu normal. Hingga lengan kecil Nisa harus terhempas kuat oleh seseorang, Mella. Dia berdiri kaku di sana, menatap nyalang pada Dirga.
Nisa kaget bukan main, sementara Dirga masih duduk tenang di bangkunya. Sesekali menyesap teh hangatnya tanpa sedikitpun berniat melihat Mella.
“Kamu tega ya, Ga!”
Hening. Nisa bungkam. Dirga tidak peduli.
“Aku mau penjelasan! Padahal kamu baru putusin aku kemarin, dan sekarang kamu udah makan bareng sama cewek lain?”
Dirga tersenyum dingin. Malas-malas membalas tatap Mella, kemudian berucap, “Kita udah putus kemarin, jadi gue enggak ada kewajiban buat jelasin apapun ke lo!”
Mella murka, tangannya hendak meraih gelas teh Nisa, namun Dirga sigap menjauhkannya.
“Dirgaaa … kamu jahat!”
Tangis Mella pecah. Dalam isaknya berulang kali menggumamkan betapa jahatnya Dirga.
Setiap tetes air mata Mella, rintihan, juga setiap tarikan napas sesak Mella saat menangis, Dirga menikmatinya. Memperdalam ukiran rasa sakit yang pernah Gani buat.
Memang begini seharusnya.
Bukan hanya Ibu dan Diandra.
Harus ada perempuan lain yang merasakan bagaimana Ibu dan Diandra menderita.
Bersambung
22.06.19
Habi🐘-Anjar
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
RomanceIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."