Hembusan angin malam yang kian kencang, tak membuat Dirga bergegas masuk. Ia tetap pada posisinya. Berdiri menatap langit, dengan sebatang rokok terselip dijari tangan kirinya. Menikmati rasa sakit yang berada di wajah dan hatinya. Entah, batang rokok keberapa yang Dirga hisap, yang pasti kini Dirga sangat kacau. Sesekali ia membenturkan kepalanya pelan pada pembatas balkon. Lalu tersenyum dengan pandangan kosong.Dirga terlalu asik dengan dunianya, hingga ia tak sadar, bahwa sejak tadi ada seorang gadis dengan piyama beruang tengah memperhatikannya.
“Kenapa nyesek banget sih?” monolog Dirga dengan kekehan mirisnya. “Gua lemah banget njir. Gara-gara gini aja, gua bisa sekacau ini.”
“Ya itu cinta. Kadang melemahkan, kadang juga menguatkan.” Dirga berbalik, mendapati Dian dengan piyama beruangnya tengah duduk di atas tempat tidurnya yang berantakan.
“Dian.” Dian melangkah, mendekati Dirga lalu merampas rokok Dirga, melemparnya begitu saja. Lalu, Dian memperhatikan wajah Dirga yang terdapat banyak luka.
Dian bingung, pasalnya, saat Dirga pulang tadi, Dian tengah berada di kamar. Jadi ia tak tahu, kondisi kakaknya saat pulang.
“Ini kenapa?” tanya Dian dengan memperhatikan wajah Dirga dengan sorot mata yang menajam.
“Berantem, sama suami bu Yessa.” Jawab Dirga sambil terkekeh pelan
“Bu Yessa?”
“Iya, Psikolog yang itu.”
“Dia bersuami?”
“Iya.” Dirga kembali menatap langit, dengan tangan kanannya berada di pundak Dian. “Bu Yessa itu dosen mantan, Mas. Dan brengseknya, Mas suka sama dia. Dan Mas berharap bisa memiliki Dia. Lalu bahagia, hahaha.”
“Mas ….”
“Dia baik. Perhatian. Tapi sayang, dia gak mau ninggalin suaminya dan memilih Mas. Dia bilang, karena dia sedang hamil, padahal Mas juga sudah menyanggupi. Kalau Mas sanggup menghidupi bu Yessa dan anaknya. Tapi bu Yessa tetap gak mau, dan dia malah mengusir Mas dari rumahnya. Dia ngusir Mas, saat Mas baru saja mukul suaminya. Hahaha, emang Mas jelek ya? Sampai bu Yessa nolak Mas?”
“Mas ….”
“Mas baru ini jatuh cinta. Mas baru ini, bener-bener ngerasain jatuh sendirian. Mas suka sama dia. Mas sayang. Mas cinta sama dia. Tapi apa? Dia sama sekali gak melirik Mas. Kenapa cinta sesakit ini Di? Ap ….” Dirga menghentikan ucapannya, ketika Dian memeluk Dirga dengan erat. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Dirga. Menghirup aroma tubuh Dirga yang bercampur dengan bau nikotin.
“Cinta tidak akan sesakit ini, kalau Mas menjatuhkannya pada hati yang tepat.” Dirga diam. Menikmati aroma segar dari rambut Dian. Merasakan pelukan hangat malaikat kecilnya. “Dian gak tau, berapa banyak hal sulit yang Mas lewati sendiri. Saat Dian gila kemarin, entah berapa banyak darah yang tumpah dari diri Mas. Kadang Dian benci diri Dian sendiri. Ketika Dian hanya bisa menyalahkan tanpa mau berusaha ikhlas. Andai saja Dian sedikit lebih ikhlas, Dian yakin, Mas tidak akan semenderita ini. Dan mungkin, Mas gak perlu berhubungan dengan bu Yessa dengan Dian sebagai alasan.” Dian memeluk erat Dirga.
“Dian gak gila. Wajar Dian ada di posisi itu. Gadis mana yang baik-baik saja setelah melewati hal semacam itu, Di?” Dirga mengecup puncak kepala Dian sesekali. “Dan ya, Mas mohon. Berhenti menganggap diri kamu sebagai penyebab dari menderitanya Mas. Karena sebenarnya, Mas penyebab dari menderitanya kamu dan Ibu. Maaf, Mas gagal menjaga kalian dengan baik. Mas gagal melindungi kalian. Mas tidak becus. Mas ….”
“Mas terbaik. Mas hebat. Mas tidak gagal.” Dengan cepat, Dian memotong ucapan Dirga. Sudah cukup. Sudah cukup Dirga menderita. Dian tidak ingin ada penderitaan lagi. Entah untuk dirinya, Dirga ataupun sang Ibu. Ah, atau mungkin juga pada Gani, sang ayah.

KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
Storie d'amoreIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."