KALAH - 15

1.1K 115 15
                                    

Atmosfer dalam ruangan ini menegangkan, kala dua orang pria berbeda generasi duduk berhadapan dengan tatapan mata nyalang yang saling mengeluarkan aura kebencian satu sama lain. Pria yang lebih dewasa dari pria lain itu menghembuskan napas jengah. Menatap tajam pria dihadapannya dengan pandangan meremehkan.

“Dimana wanita itu?” ucapnya membuka suara. Gani, mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru rumah, namun tak ada tanda kehidupan yang ia lihat.

“Apa urusan anda menanyakan keberadaan Ibu saya?” tanya Dirga sarkas. Sungguh, Dirga sangat muak dengan Gani saat ini. Dirga tak habis pikir, apa yang sebenarnya laki-laki itu inginkan dari dirinya dan juga ibu serta adiknya? Tidak puaskah Gani menelantarkan mereka tanpa alasan yang jelas? Lalu apalagi sekarang?

“Tidak ada. Sebenarnya, tidak penting juga saya tahu, dimana keberadaan wanita tak berguna itu. Hanya saja, saya membutuhkan tandatangannya, agar saya bisa lepas dari wanita rendahan seperti dia,” jawab Gani terlampau santai, hingga melupakan fakta, bahwa wanita yang ia sebut rendahan itu adalah istrinya. Istri yang memberikan sepasang anak manis yang kini menjelma menjadi anak yang sangat tangguh dengan cara mereka masing-masing.

Dirga menatap benci pada Gani. Sungguh, hati anak mana yang baik-baik saja, saat sosok yang mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan dirinya disebut wanita rendahan? Dirga menampilkan senyum sinisnya. Berdiri, dan hendak meninggalkan Gani. Ingatkan Dirga, bahwa lelaki yang berada dihadapannya saat ini adalah ayahnya, agar ia tak bertindak lebih jauh dan mengirim Gani menyusul Dira ke Rumah Sakit.

“Dirga Putratama Mahendra! Saya belum selesai ber….”

“Silahkan anda keluar dari rumah ini! Saya tidak sudi melihat anda ada di rumah ini, jika tujuan anda hanya menghina Ibu saya!” Habis sudah kesabaran Dirga.

“Izinkan saya bertemu Ibumu, dan izinkan kami bercerai. Setelah itu, saya tidak akan mengganggu kehidupan kalian!” tegas Gani, Dirga menatap datar Gani. Sedangkan Gani menatap Dirga dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Izin untuk bercerai? SILAKAN! Saya tidak keberatan jika kalian bercerai, justru saya sangat bahagia dan bersyukur jika kalian bercerai. Tapi sayangnya, anda tidak bisa melakukan itu sekarang. Karena Ibu saya untuk saat ini, tidak akan bisa memberikan tandatangannya untuk lepas dari pria bajingan seperti anda!”

“Tidak usah bertele-tele sialan! Dimana wanita itu?!” teriak Gani

“Kecilkan suaramu, Tuan Gani Mahendra yang terhormat! Saya mohon dengan sangat, jangan membuat kekacauan lagi dirumah ini!” sentak Dirga. Ah ya, Dirga tak bodoh, dengan mereka yang terus berbicara dengan nada tinggi, berpotensi mengusik Dian yang sedang tenang. Dan ia tak mau itu terjadi.

“Apa susahnya mengatakan dimana dia?”

“Ibu koma, dia sedang dirumah sakit sekarang! Percobaan bunuh diri,” lirih Dirga yang masih didengar baik oleh Gani. “Pergilah, biarkan kami tenang. Saya mohon.” Suara Dirga melunak. Ia tak ingin mengusik ketenangan adiknya.

“Saya akan pergi, tapi tolong beritahu Ibumu, segera tanda tangani surat cerai ini saat dia sadar nanti, saya tidak punya banyak waktu lagi untuk menunda pernikahan dengan kekasih saya. Saya serahkan surat ini ke kamu, dan lekas kembalikan pada saya, jika wanita itu sudah menandatanganinya.” Gani hendak melangkah setelah meletakkan surat-surat diatas meja, namun Dirga menahannya dengan suara lirih.

“Sepenting itukah wanita tersebut? Sampai Ayah rela melepas kami?”

“Dia sangat penting. Jauh sebelum saya mengenal Dira, saya sudah lebih dulu mencintai wanita lain. Wanita yang ingin saya nikahi secepatnya saat ini.”

“Kenapa kalian menikah? Jika nyatanya, hati Ayah tidak untuk Ibu? Bisa Ayah jelaskan?! Jangan buat kami menebak-nebak hingga kami bosan menebak!”

“Perjodohan dan harta. Ya, realistis saja. Saya masih butuh fasilitas dari keluarga saya waktu itu. Sehingga saya harus menerima perjodohan itu dan ya, membuat kalian lahir di dunia ini. Saya pikir, dengan kelahiran kalian, saya bisa mencintai Dira sepenuhnya. Tapi sayang, nyatanya Tuhan tidak mengizinkan ada cinta tumbuh diantara saya dan Dira.” Gani menarik napas sejenak. “Jika kau ingin, saya bisa menceritakan semuanya. Anggaplah, ini perbincangan hangat terakhir kita. Perbincangan hangat antara anak dan ayah mungkin?” Gani duduk kembali, disusul Dirga yang ikut duduk di sebrang Gani dengan wajah sendu.

“Dulu, usia saya 25 tahun, dan Dira berusia 23 tahun. Saat itu Dira menyukai saya, bahkan mencintai saya. Saat itu, saya sudah memiliki kekasih, dan ingin menikahinya, namun keluarga besar saya menolak. Mereka menginginkan saya menikah dengan Ibu kalian. Sebagai imbalan jika saya mau menikahi Dira adalah, saya akan mendapatkan 50% saham perusahaan pusat keluarga Dira dan 35% saham keluarga besar. Itu semua karena Dira yang merupakan anak tunggal, dan keluargaku yang butuh modal besar untuk membesarkan perusahaan yang lain. Dan imbalan lain jika saya menolak perjodohan itu, nama saya akan di coret dari hak waris, bahkan parahnya saya akan di coret dari Kartu Keluarga. Jelas, saya tak ingin hal itu terjadi, sehingga pada saat itu saya memilih menikahi Dira dan membuat kekasih saya pada saat itu menerima lamaran dari pria lain. Dan ya, atas dasar itulah saya mencoba menerima Dira dan menumbuhkan cinta di antara kita. Tapi ternyata, niatan itu gagal. Karena hingga detik ini, saya tidak bisa melahirkan cinta diantara kami.” Gani menghela napas panjang, menatap Dirga yang diam mematung.

“Bercerailah! Aku ikhlas, masalah Dian dan Ibu, biar aku yang mengurus. Tapi Dirga mohon, setelah ini, menjauhlah dari kami. Biarkan kami tenang tanpa bayang-bayang anda. Biarkan Ibu dan Dian menjadi tanggung jawab saya seutuhnya. Dan biarkan saya membawa mereka pergi.”

“Kalian tidak perlu pergi, karena saya yang akan meninggalkan kota, bahkan negara ini. Jadi kalian bisa hidup tenang tanpa bayang-bayang saya. Dan ya, terimakasih sudah mengizinkan kami berpisah. Saya pamit pulang.”

“Ayah, tunggu!” Dirga meraih pundak Gani saat Gani sudah berada di ambang pintu. Tanpa aba-aba, Dirga memeluk Gani. “Semoga ayah bahagia. Terima kasih sudah memberi Dirga penjelasan. Dan ya, silahkan ayah menikah. Tapi satu yang Dirga minta. Dirga mohon, perlakukan istri ayah dengan baik, jangan memperlakukannya sama seperti ayah memperlakukan Ibu saat ini.” Dirga berbisik lirih, lalu melepas pelukan sesaatnya itu, dan membiarkan Gani pergi.

Dan malam ini menjadi saksi, hancurya Dirga ketika mengetahui bahwa hadirnya dan Dian sangat tidak diinginkan. Kehadiran mereka hanya sebatas kewajiban dan formalitas. Hanya demi harta dan kekayaan. Menyedihkan.

Tapi, tidak ada kehidupan yang berjalan baik-baik saja, bukan? Dan bolehkah malam ini Dirga berharap? Dirga hanya berharap, bahwa ini kerikil terakhir dalam hidupnya, yang menyakiti dirinya sangat dalam. Dan ini terakhir. Hukuman terakhir dari Tuhan setelah komanya Dira, depresinya Dian, dan pengakuan Gani. Dirga harap, tidak ada lagi hukuman yang dihadiahi Tuhan untuk dirinya.

“Boleh saya bernafas lega? Setidaknya saya menemukan titik terang permasalahan dengan ayah. Setelah masalah Dian selesai, bolehkah saya mengharap bahagia? Bersama Ibu, Dian dan …. Yessa!”

Bersambung
01.08.19
Anjar-Habi 🐘

KALAH ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang