Putaran jarum jam terus bergerak. Tanpa bisa dipercepat atau pun dilerlambat. Kini, sudah terhitung satu bulan Dira koma. Kemudian, dua minggu yang lalu, Gani kembali datang ke rumah menemui Dirga. Mengantarkan undangan pernikahannya yang akan dilaksanakan akhir minggu ini. Jujur saja, saat ini Dirga sangat dilema. Apakah ia harus datang atau tidak. Ia tak mau membuat Dira semakin sakit jika sang ibu tahu, jika Dirga menjadi saksi Gani mengucapkan ikrar pernikahan dengan wanita lain. Di sisi lain, Dirga tak mungkin meninggalkan atau pun membawa Diandra pergi bersamanya.
“Apa yang harus aku lakukan?” lirih Dirga sambil menghisap batang bernikotin yang terselip di jari-jari tangan kanannya
Drt ... drt ... drt.
Ponsel Dirga bergetar, menarik Dirga dari kebingungannya. Dengan gerak lambat, Dirga meraih ponsel yang ia letakkan di meja kecil sebelahnya, menatap sekilas ID Call penelepon lalu mengernyitkan keningnya heran.
“Hallo.”
“……”
“Kenapa?”
“…...”
“Baiklah.”
Dirga mematikan sambungan telepon secara sepihak, lantas bergegas menghampiri kamar Diandra. Berbicara tentang Diandra. Kini Diandra mulai membaik dan bisa menerima Dirga kembali. Namun menerima hanya sebatas tenang di dekat Dirga. Untuk berbicara atau pun bersentuhan fisik dengan Dirga, Diandra belum mau atau bahkan belum bisa. Dan semua ini berkat Yessa.
“Dian?” tanya Dirga lirih setelah membuka pintu kamar Diandra perlahan. Dapat Dirga lihat, kalau Diandra meliriknya sekilas, lalu kembali asik dengan buku gambarnya. Dira melangkah, mendekati Diandra dan mengulas senyum tipis.
“Dian, ikut kakak yuk?” Dirga menatap Dian dalam, sedangkan Dian mengabaikan Dirga. Sekali pun Dian mendengar dengan jelas, pertanyaan Dirga.
Dirga hanya mampu menghela napas sedih “Ibu,” lirih Dirga. Namun didengar dengan jelas oleh Diandra.
“Ibu,” ucap Dian parau.
“Mau bertemu Ibu?” Dian hanya mengangguk tanpa melihat Dirga “Baiklah, ayo kita bertemu Ibu. Siap-siaplah, kakak akan menunggumu di depan.”
^^^
Kini, Dirga dan Diandra telah tiba di dalam ruang rawat Dira. Melihat Dira dengan sorot mata sedih, ketika tak didapati perbuahan sama sekali pada Dira. Dira masih sama, tertidur pulas seakan enggan untuk bangun.
Dirga mengusap lembut kening Dira. Ah ya, kabar baik lainnya adalah, kini Dirga bisa berdekatan dengan Dira. Tidak ada lagi sesak yang menyiksa ketika Dirga bertatapan langsung dengan Dira. Bahkan, kini Dirga mampu memeluk DIra dengan erat. Dan masih sama, hal ini terjadi berkat Yessa.
“Ibu, ayo bangun. Ibu lihat, Diandra mulai membaik Bu,” bisik Dirga yang tanpa sadar, air matanya sudah mengalir deras. Dan jatuh tepat pada kelopak mata kanan Dira. Sedangkan Diandra pun melakukan hal yang sama. Menangis dalam diam di sebelah kiri tubuh Dira.
“Ibu, Dian datang,” lirih Dian, dengan isakan kecil pun terdengar dari bibir pucat Diandra. Melihat hal itu, tanpa berpirik dua kali, Dirga menghampiri Dian lantas memeluknya.
“Jangan menangis. Kakak mohon,” pinta Dirga. Di luar dugaan, Diandra kini membalas pelukan Dirga. Menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Dirga. Diandra kembali menemukan kenyamanannya pada Dirga. Dan Dirga kembali mendapatkan semangatnya.
“Dian kangen Ibu,” lirih Dian lagi “Kangen Kakak,” suara Dian semakin melirih. Namun, Dirga masih mendengarnya. Dan dengan perasaan bahagia yang memuncak, Dirga semakin memeluk erat Dian. Menikmati aroma khas rambut Dian. Merasakan dingin tubuh Dian. Untuk kali ini, biarkan Dirga menikmat bahagianya.
^^^Kini Dian dan Dirga berada di kantin rumah sakit. Sejak tadi, Dirga tak berhenti untuk memamerkan senyumnya. Melihat Dian dari dekat yang kini tengah menikmati satu cup mie instan dalam genggamannya. Sesekali Dian menyuapi Dirga dengan mie tersebut tanpa banyak bicara.
“Terima kasih,” ucap Dirga tulus
“Untuk?”
“Sudah menerima kakak kembali di dekat kamu. Kakak bahagia, sangat bahagia.”
“Maaf.”
“Untuk?”
“Karena Dian sempat membenci kakak.” Dian tersenyum pada Dirga. Melihat wajah Dirga yang kian menirus. Rambut gondrong tak beraturan, kumis dan jenggot yang mulai tumbuh. Ah, Dirga sungguh terlihat menyedihkan dan tak terurus.
Mereka kembali berbincang ringan, menikmati sisa malam bersama. Membayar tuntas setiap waktu yang sempat mereka buang dengan saling menjauh atau menangisi satu sama lain. Mereka sesekali tertawa, namun suasana menegang saat Diandra tiba-tiba meluncurkan sebuah pertanyaan yang mampu membisukan Dirga.
“Dian tidak melihat ayah. Ayah ke mana selama ini?” Dirga diam. Apakah ini saatnya? Tapi, Dirga tidak siap.
“Ay….”
Drt.. drt.. drt
“Hallo?”
“……….”
“Benarkah?”
“……….”
“Baik, kami ke sana sekarang.”
Dirga menyimpan kembali ponsel dalam sakunya, menghampiri Dian dan memeluk Dian erat. Menghujani puncak kepala Dian dengan kecupan-kecupan kecil. Dian jelas bingung, namun ia memilih diam. Membiarkan Dirga menyalurkan rasa bahagianya.
“Ibu sadar.”
bersambung
03.09.19
Anjar-Habi🐘
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
RomanceIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."