Jam menunjukkan pukul tiga pagi, namun mata tajam Dirga masih enggan terpejam. Bahkan sejak tadi, ia masih betah duduk seorang diri di teras rumahnya yang sederhana. Sesekali air matanya mengalir, kala otaknya membayangkan segudang kenangan yang tercipta di setiap sudut rumah.
“Tuhan, sampai kapan? Aku lelah!” lirihnya.
Dirga baik-baik saja, jika di hadapan banyak orang. Namun, di saat ia tengah duduk seorang diri, maka ia akan menjadi pribadi yang sangat lemah. Ia tidak bisa mengelak, bahwa ia hanyalah seorang remaja berusia 19 tahun yang berusaha membangun benteng untuk dirinya sendiri. Ia tak ingin terluka lebih jauh lagi, dan ia hanya ingin ada banyak wanita yang bernasib sama dengan Adik dan Ibunya.
Saat pikirannya tengah berkeliaran dengan liar, Dirga merasakan ada sebuah pelukan yang merengkuh tubuhnya hangat. Ia berbalik, dan mendapati Diandra yang memeluknya hangat dan meletakkan dagunya pada pundak Dirga.
“Mau cerita?” tanya Diandra lembut.
“Kenapa belum tidur?” Alih-alih menjawab pertanyaan Diandra, Dirga justru melempar tanya.
“Dian tau Mas belum tidur, jadi Dian nunggu Mas. Tapi enggak ada tanda-tanda Mas bakal masuk kamar, jadi yaudah Dian ngecek ke sini. Ternyata bener, Mas masih di sini,” jelas Diandra. “Mas kenapa lagi?”
“Mas gapapa. Cuma belum ngantuk aja.”
“Mas, Mas bisa bilang kalau Mas gapapa ke seluruh dunia, maka mereka akan percaya. Tapi, kalau Mas bilang seperti itu ke aku, dan menganggap aku percaya, maka Mas salah besar. Karena aku tau Mas. Dan aku gak akan percaya begitu aja, saat Mas bilang Mas gapapa.” Diandra menatap dalam mata Dirga yang entah sejak kapan berubah sendu.
“Itu kata-kata Mas!” protes Dirga, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Mas, tau gak? Diandra bahagia banget!” Dirga mengernyit bingung, tak paham dengan arah pembicaraan sang adik.
“Dian bahagia, punya kakak sehebat Mas. Dian gak iri, karena Dian gak mendapatkan kasih sayang dari ayah sebagaimana seharusnya, karena bagi Dian, kasih sayang dari Mas dan Ibu itu sudah lebih dari cukup. Dian tau, seorang anak akan cacat tanpa orang tuanya, tapi Dian sempurna dengan kehadiran Mas” Diandra semakin memeluk Dirga erat, tanpa ia sadari air mata mereka mengalir secara bersamaan.
“Terimakasih. Mas sayang sama kamu”
“Dian tahu, bahkan tanpa Mas bilang pun Dian yakin kalau Mas sayang sama Dian”
Malam ini, langit malam menjadi saksi, bagaimana sepasang kakak beradik itu mencurahkan kasih sayangnya satu dengan yang lain. Tanpa banyak dialog, hanya sebatas pelukan hangat yang mewakili perasaan masing-masing.
Diandra hampa tanpa ayah, namun dia bahagia dengan kehadiran Dirga. Diandra rindu figur ayah, namun kehadiran Dirga seakan tak memberi waktu untuk Diandra merindukan figur itu. Diandra merasa dirinya sangat bahagia, walau keluarganya cacat tanpa seorang ayah, seorang suami, seorang kepala keluarga.
“Ayo masuk, dingin. Nanti kamu sakit” Dirga memecah keheningan yang ada, menatap mata sang adik dengan hangat.
“Gendong” lirih Diandra manja, sedangkan Dirga hanya terkekeh lalu membawa Diandra dalam gendonggan punggungnya, membiarkan Diandra tetap menyandarkan dagunya di pundak Dirga.
Diandra sangat menikmati lembutnya aroma parfum Dirga. Menenangkan. Begitu kata Diandra. Sehingga tak butuh waktu lama, membuat Diandra tertidur dalam gendongan Dirga.
“Selamat malam. Terimakasih sudah membuat Mas jadi sangat berharga. Terimakasih sudah menjadi alasan Mas untuk bertahan. Bantu Mas. Bantu Mas untuk tetap baik-baik saja.” Setelah membenarkan posisi tidur Diandra dan mengecup lama kening sang adik, Dirga pun meninggalkan kamar Diandra dan bergegas menuju kamarnya.
Malam ini, biarkan Dirga lupa akan duka dan tangisnya.
Bersambung...
21.06.19
Anjar-Habi 🐘
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH ✔
RomanceIni semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak lagi kokoh berdiri. Kemudian dia tergugu perih .... "Kalah, aku mengaku kalah."