ㅡㅡㅡㅡㅡ
standard disiclaimer applied
ㅡㅡㅡㅡㅡ
Jaemin terbangun dengan perasaan kesal, tangan kirinya terulur ke arah nakas yang ada di samping ranjangnya untuk mematikan alarm. Setelah telinganya tidak lagi mendengar suara yang menganggu, ia perlahan bangkit dan duduk di atas ranjangnya sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Suara alarm tadi sukses membuatnya merasa sakit kepala.
Akhir-akhir ini pemuda bermarga Na itu memang mudah sekali tersulut emosi. Tepatnya sejak kembalinya Jeno, Jaemin sungguh merasa bahwa kehidupannya bersama Renjun yang tenang menjadi terganggu oleh kedatangan teman masa kecil mereka itu. Jaemin lagi-lagi menghela nafas dengan kasar sebelum turun dari ranjangnya dan menuju kamar mandi. Meski tengah merasa kesal, ia tetap harus bersiap untuk berangkat ke sekolah dan menjemput Renjun.
Seperti biasa, Jaemin akan terlebih dahulu sarapan di ruang makan sebelum pergi. Kadang ia hanya duduk dan makan sendirian di ruangan besar itu, tapi sesekali ia akan makan bersama Kepala Keluarga Na jika pria paruh baya itu berada di rumah--dan kali ini Jaemin sedikit terkejut karena mendapati 'ayahnya' telah berada di ruang makan pagi ini.
"Selamat pagi, Jaemin," sapa Tuan Na saat menyadari bahwa Jaemin berdiri di ambang pintu ruang makan. Ia menutup buku yang tengah dibacanya lalu meletakkannya di sisi meja makan sebelum menatap Jaemin.
"Pagi, ayah...," Jaemin melangkah masuk dan duduk di kursinya.
"Tidakkah ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?" tanya Tuan Na sambil meletakkan serbet di atas pahanya.
"Aku minta maaf."
Tuan Na menatap putranya itu dengan tatapan penuh arti sebelum menghela napas dan memperbaiki letak kacamatanya. "Kamu tahu itu salah, tapi kamu dan Jeno tetap membawa Renjun ke sana."
Jaemin tidak menjawab, ia hanya diam sambil menatap piringnya yang berisikan sebuah steak.
"Kalian memang sering kali belum menyadari batas kemampuan kalian sendiri." Tuan Na mulai memotong steaknya.
"Aku bisa melindungi Renjunie, ayah," sahut Jaemin dengan kepala yang masih tertunduk.
"Aku tahu itu, Jaemin. Aku tahu, tapi dirimu dan kekuatanmu saat ini masih belum memenuhi kriteria untuk melindungi Renjun." Tuan Na menusukan garpunya pada potongan steak yang baru saja ia potong. "Sebagai ayahmu, aku menyayangimu Jaemin. Tapi, sering kali aku tidak bisa mengerti pola pikirmu yang cukup pendek itu. Pola pikir seorang gentelity."
Jaemin terdiam, kedua tangannya mengepal di bawah meja. Ia sangat mengormati ayahnya sepenuh hatinya meski mereka bukanlah sepasang ayah dan anak yang sangat ideal. Meskipun begitu, Jaemin pun tidak pernah ingin ayahnya kecewa padanya. Karena itulah saat mendengar perkataan Tuan Na, ia sangat marah pada dirinya sendiri--yang begitu lemah dan bahkan masih berada dalam lindungan Renjun.
Sejak kecil, Jaemin memang tidak bisa menahan emosinya dengan sangat baik jika itu berhubungan dengan Renjun dan kekuatannya. Ia selalu berharap bisa segera menjadi kuat dan menjadi pelindung sang penyihir, tapi teman masa kecilnya sekaligus cahayanya itu selalu berada satu langkah di depannya. Lagi, dan lagi, menjadikan itu membuat Jaemin dan Jeno yang seharusnya melindungi Renjun malah diperlakukan sebaliknya.
Tuan Na dan Jaemin melanjutkan sarapan mereka dalam diam, hanya suara alat makan yang terdengar di atas meja. Meski memulai sarapan lebih lambat dari Tuan Na, Jaemin selesai menghabiskan sepiring steaknya dan lebih dulu mengundurkan dirinya dari ruang makan. Tuan Na pun mempersilahkan putranya itu untuk pergi ke sekolah, setelah ia memberikan beberapa pesan dan nasihat tambahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Peculiarity;『JaemRen+NoRen』
Hayran KurguHuang Renjun, salah satu siswa dari Daehan High School yang tahun ini ada ditingkat keduanya. Renjun memiliki sifat pendiam serta misterius dan ia hanya memiliki satu orang 'teman' yaitu Zhong Chenle yang berada satu tingkat dibawahnya. Sejak awal m...