(17) Kania

437 131 11
                                    

Kania membuka matanya perlahan, terasa berat namun ia harus segera bangun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kania membuka matanya perlahan, terasa berat namun ia harus segera bangun. Dia pikir sedang berhalusinasi karena berada di atas kasur di dalam kamarnya sendiri. Padahal terakhir kali yang ia ingat sebelum tidak sadarkan diri, ia tengah berdua dengan pemuda bernama Sadewa. Sekarang, Kania benar-benar sendiri. Tirai di ujung juga telah menutupi jendela, menambah gelap suasana. Membuat Kania yakin kalau hari sudah malam.

Gadis ini kemudian menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, ingin beranjak dari sana namun suara derap langkah mendekati kamarnya. Dengan cepat, seseorang memegang gagang pintu dan mendorongnya masuk.

"Kak, udah baikan?"

Kania menggeser tubuhnya ke belakang, menyandar pada sandaran kasur. "Lumayan, tapi masih pusing dikit. Ngomong-ngomong, kok gue bisa ada di rumah? Bukannya tadi gue keluarㅡ"

"Iya, tadi kata temen-temen kakak, Kak Kania pingsan di depan minimarket. Mereka juga yang antar kakak pulang tadi sore," jelas Kaira sambil duduk di pinggir kasur.

"Oh..."

"Kak, aku anterin ke rumah sakit aja ya sekarang? Daripada nanti makin sakit,"

"Aku nggak kenapa-kenapa kok, Ra. Istirahat aja cukup-"

Kania bingung dengan dirinya, kenapa harus di saat yang tidak tepat, jatuh pingsan di depan pemuda yang terus membahas keburukannya. Harusnya Kania tidak boleh terlihat lemah apalagi di depan Sadewa. Pemuda itu, benar-benar membuat semuanya kacau, mendistraksi.

"Yaudah, Kak. Kalau gitu, aku tinggal belajar dulu, ya! Kalau kakak masih sakit, besok izin aja nggak usah masuk sekolahㅡ" Kaira pamit, meninggalkan Kania.

Sementara Kania, masih termenung di atas kasurnya. Melirik ke nakas di samping, ponselnya tergeletak di sana. Begitu dinyalakan, banyak pesan terpampang di layar. Dari Clara, Bintara bahkan Dhika. Dan satu lagi, nomor tidak dikenal.

'Semoga cepat sembuh, Nya!'

Tanpa harus bertanya pada yang lain, Kania sudah bisa menebak dengan tepat siapa pengirimnya. Kania berpikir, harus ia balas atau tidak pesan ini?

Terlalu lama bimbang, akhirnya Kania memutuskan untuk membalas pesan yang lain saja dulu. Padahal, pesan satu ini yang pertama ia baca, tapi ah sudahlah. Pesan dari Clara, banyak meminta Kania supaya istirahat di rumah, kalau perlu absen saja besok di kelas. Kalau Bintara, hampir sama tetapi lebih formal dan singkat, tidak banyak basa basi. Sedangkan dari Dhika, bocah itu malah menanyakan apa yang sebenarnya terjadi sampai Kania jatuh pingsan. Padahal Kania sendiri juga tidak tahu kenapa.

Mulanya, Kania berniat membiarkan satu pesan dari nomor tak dikenal itu tanpa balasan, tapi perasaannya malah jadi risau. Lagipula, Sadewa sama seperti yang lain, mungkin dia khawatir dengan kondisi Kania. Apalagi, saat kejadian hanya Sadewa-lah yang menjadi saksi.

'Gue baik-baik aja, gak usah dipikirin.' tulis Kania di ruang obrolan.

Kemudian, pesan selanjutnya masuk, masih dari Sadewa. Terlampau cepat pemuda itu mengirim balasan, sampai Kania kehabisan kata-kata.

'Maaf ya, nyusahin lo mulu'

Kania geregetan, selalu begini terus. Dia bikin Kania kesal, lalu minta maaf. Diulangi lagi sampai kesekian kali, persis. Sebenarnya pemuda ini serius minta maaf atau hanya ingin mengacaukan hidup Kania, sih?

Baru juga kenal di kelas sebelas ini, seandainya kenal dari dulu mungkin Kania akan memilih untuk pindah sekolah saja daripada bertemu orang seperti Sadewa. Orang aneh yang mungkin cuma satu di dunia ini.

'Gue berpikir, kata maaf dari lo tuh sebenarnya main-main doang. Gak tulus,'

Sepersekian detik, tak kunjung ada balasan. Kania sih tidak mempermasalahkan kalau seumpama Sadewa marah setelah membacanya, justru itu bagus, masalah keduanya selesai sampai di sini. Hidup Kania sudah susah, banyak problematika yang ia sembunyikan seorang diri, tidak mau ditambah lagi dengan kehadiran pemuda aneh ini.

Kania beranjak membaringkan tubuhnya, kembali tidur daripada pusing menanggapi Sadewa. Sudah tidak berharap akan balasan dari pemuda itu. Lagipula, tidak penting. Namun ternyata dugaan Kania salah besar, Sadewa tidak marah. Mungkin memang benar kalau tidak ada balasan pesan masuk setelah pesan Kania tadi, namun yang ada sekarang malah panggilan masuk dari Sadewa.

Entah kenapa firasat Kania yang menuntun tangan gadis itu segera menekan tombol berwarna hijau di layar, dan menyambungkan obrolan dengan seberang. Meski Kania tak bersuara, justru suara Sadewa di sana yang langsung terdengar jelas di sambungan telepon.

"Nya, gue harus gimana lagi sih biar lo yakin gue serius minta maaf, dan teruntuk apa yang gak sengaja keluar dari mulut gue entah itu ngejelekin lo atau yang kurang berkenan di hati, sekali lagi gue mohon dengan sangat supaya lo mau dengar permintaan maaf dari gue,"

"Nya, gue masih di tahap awal buat ngerubah sikap gue yang bikin orang lain gak nyaman berteman sama gue, jadi tolong pahamiㅡ"

"Nya, lo orang pertama yang bener-bener gue harap supaya kita bisa jadiㅡteman.."

Kania menjauhkan ponsel dari telinganya. Sambungan telepon belum terputus, sehingga sayup sayup masih terdengar suara Sadewa di ujung sana, meski Kania mengabaikannya. Semuanya sulit dipercaya, Sadewa mungkin sudah kehilangan kewarasan, lalu mengapa harus Kania yang jadi korban?

 Semuanya sulit dipercaya, Sadewa mungkin sudah kehilangan kewarasan, lalu mengapa harus Kania yang jadi korban?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
#5 Distraksi Tiga Dimensi✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang