(15) Sadewa

470 133 25
                                    

"Mau es krim, nggak? Gue yang traktir-" tawar Sadewa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau es krim, nggak? Gue yang traktir-" tawar Sadewa.

Kania menggeleng, "Gak. Lagi sakit tenggorokan,"

Sadewa mengangguk paham. Walau sebenarnya tidak rela mengapa tawarannya ditolak mentah-mentah. Coba lagi, Sadewa. Ini namanya perjuangan.

Sadewa rasa, mereka sudah mengambil rute yang lumayan jauh, berkeliling area yang luas, tapi tak kunjung kembali ke tempat awal tadi. Untungnya, Kania tidak protes sama sekali. Mungkin, gadis itu merasa lebih terhibur jika begini daripada harus berdiam diri menanti teman-temannya selesai menonton pameran.

"Kita berhenti di sìni aja," ucap Sadewa sambil menoleh kepada Kania.

"Di tengah jalan gini?" sahut Kania.

"Ya enggak, lah. Tuh, ada minimarket," tunjuk Sadewa. Mata Kania mengikuti arah telunjuk pemuda ini, kemudian kepalanya mengangguk, mengiyakan.

Di depan minimarket, ada beberapa bangku kosong, sehingga keduanya bisa istirahat selagi mencari kabar soal rombongan masing-masing, yang padahal sedang bersekongkol menjebak mereka berdua. Sementara Kania fokus pada ponselnya, Sadewa masuk ke minimarket sebentar untuk membeli minuman dingin. Setelah kembali, tentu saja mengajak ngobrol Kania adalah tujuan utamanya.

"Nih, minum. Jangan tolak lagi, gak bikin sakit kok..." Sadewa berujar, sambil menyodorkan sebotol 'mogu-mogu' rasa leci.

"Hmm, makasih."

Tarik nafas panjang, tenang, kuasai. Sadewa mencoba mencari topik yang lebih ringan untuk diperbincangkan. Takut nanti kalau terlalu sensitif, Kania langsung mengamuk dan kabur.

"Gimana Clara udah selesai apa belum nonton acaranya?'

"Nggak tahu, pesan gue masih belum dibalas." jawab Kania, dengan nada sedikit lebih bersahabat daripada sebelumnya.

"Sama nih, si Bintara juga. Nomor gak aktif,"

Kania kembali menunduk pada layar ponselnya. Sepertinya obrolan ini terlalu membosankan, Sadewa ayo cepat mikirnya, jangan kelamaan!

"Nggak apa-apa kan kalau gue panggil lo lebih akrab gitu sekarang? Nya? Hm, maksud gue kita kan udah lumayan kenal nih..."

"Gue emang kelihatan jutek, tapi asli deh gak bohong sebenernya gue tuh juga pengen pinter ngomong, punya banyak temen kaya Bintara..." lanjut Sadewa, makin memelankan volume suaranya.

Kania mengerjapkan mata, diam-diam meletakkan ponselnya di atas meja. Membalas tatapan dari Sadewa yang kini terlihat serius sedang tidak bercanda. Mungkin, ada baiknya memaafkan sisi buruk pemuda ini yang telah ikut campur urusannya di masa lalu. Sadewa terlihat menyedihkan, sama saja dengan dirinya, begitu yang ada dalam benak Kania.

"Ya, nggak apa-apa, sih. Santai aja, karena lo masih saudara deket sama Clara, jadi gue yakin lo sebenernya orang baik." sahut Kania dengan wajah datar.

"Gue juga gak tahu kenapa dari sekian banyak orang di dunia ini, gue harus termotivasi untuk berubah setelah gue ketemu dengan seorang siswi barbar kaya elo yang gue sendiri jadi penengah waktu lo berantemㅡ"

"Lo tuh, bener bener ya...." pekik Kania tertahan.

Sadewa menepuk dahinya, "Tolol lu, Sa!"

"Bener bener nyebelin gak berubah sedikitpun. Terus aja ungkit soal itu, seakan lo tuh tetap mengingat sisi buruk gue," lanjut Kania tanpa peduli reaksi apa yang akan ia dapat dari Sadewa.

"Enggak! Enggak gitu maksudnya, duh salah lagi kan, ya ampun Nya dengerin dulu..." Sadewa serba salah. "Ya gini Nya, akibat tidak punya pergaulan dan kehidupan sosial yang baik jadi belepotan kalau mau ngomong,"

Kania menghembuskan nafasnya, kasar. Pemuda songong ini, berusaha minta maaf tetapi masih tetap menyinggung dirinya. Apa sih mau Sadewa sebenarnya?

"Serah, gue mau balik aja.." kata Kania kemudian beranjak dari tempat duduk.

"EEEHHHH JANGAN!!" tahan Sadewa.

"Apa lagi?"

"Maafin, gue gak bermaksud sumpah.."

"Bodo amat," batin Kania.

"Ya nanti gue pikir-pikir lagi,"

"IH KANIAAAA SERIUUUSSS JANGAN BERCANDAAA," rengek Sadewa seperti anak kecil.

Serius, sejak kapan Sadewa jadi kekanakan begini? Kenapa sikap pemuda ini bisa berubah dengan begitu cepat, secepat kilat sampai Kania sendiri bingung menghadapinya. Ini beneran Sadewa atau bukan? Mungkin, Kania perlu menabrakkan kepalanya ke tembok agar ia bangun dari mimpi. Tapi ini bukan mimpi, ini kenyataan.

Sadewa tersenyum dari kejauhan, walau tidak berusaha mengejar tetapi pemuda itu tetap meneriaki Kania.

"Nya, gue tahu lo pasti maafin gue,"

"Nya, jangan murung terus, jangan marah-marah melulu, jangan jutek ke gue dong!"

"Nya, gue serius minta maaf!"

"Nya, kata Radit, Juna, Keenan sama Dhika, lo tuh orangnya asik, seru, tapi kenapa Kania yang gue ajak temenan susah banget senyum ke gue?"

"Nya, kita sekarang jadi temen! Ayo senyum, jangan cemberut lagi-"

Tidak tahu, rasanya tidak mungkin betul terjadi. Kania mungkin berkhayal, tapi ini terlalu nyata. Pusing di kepala Kania secara tiba-tiba, membuat dunia serasa berputar dan sedetik kemudian langit runtuh, membentur lapisan tanah yang padat. Tidak berdaya, sayup-sayup yang Kania dengar hanyalah suara seseorang meneriakkan namanya untuk kesekian kali.

"Kania, bangun!"

"Kania, bangun!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
#5 Distraksi Tiga Dimensi✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang