Part 8

3.4K 177 2
                                    

Di tengah kebisuan yang ada, Hani kembali ke kamar inap dengan menenteng satu parsel buah besar.

"Dari mana, Han?" tanya Galang secepat kilat begitu tahu Hani telah kembali, meski gadis itu berada di balik tirai.

"Anu, itu dari luar."

"Ngapain?" Kali ini Indah yang bertanya. Ketus.

"Nggak ngapa-ngapain."

"Kalau nggak ngapa-ngapain, kenapa kamu bawa parsel? Dari siapa itu?"

"Dari--"

"Dari saya!" sahut seseorang dari luar yang berjalan memasuki ruangan.

Suara langkah kaki semakin jelas terdengar. Sosok itu kini telah benar-benar terlihat. Ia mendekati tirai pemisah lalu ... kreeek!

Tirai terbuka sempurna.

"Kakek!" seru Galang.

Indah tampak terkejut dengan kehadiran pria berkemeja kotak-kotak dan mengenakan topi koboi itu hingga tak bisa berkata-kata.

"Gimana keadaan kalian?"

"Alhamdulillah udah baikan, Kek. Operasi penyambungan tulang berjalan lancar. Sekarang hanya tinggal proses pemulihan."

"Bagaimana denganmu, Ndah?"

"Saya ... juga udah baikan, Kek," jawab Indah lirih. Ada aura ketakutan terpancar dari wajah putih mulusnya.

Kakek mendesah panjang. Meraih kursi plastik lalu duduk di tengah, di antara Galang dan Indah.

"Kalian ini, kan, suami istri. Kenapa pakai acara tirai ditutup segala?!" Nada suara Kakek naik satu oktaf.

Sepasang suami istri itu hanya tertunduk dan membisu.

"Indah! Mana orang tuamu? Apa mereka sudah ke sini?"

Perempuan dengan bulu mata lentik itu hanya bisa menggeleng lemah.

"Kenapa? Apa kamu belum ngabarin mereka? Kamu takut mereka tahu kelakuan kamu yang seperti tak punya agama?"

"Kek ...." Raut memelas dipasang wanita itu untuk mengurangi kemarahan Kakek.

"Lihat suami kamu! Dia sampai depresi atas kelakuanmu!"

Setetes air meluncur di satu pipi Indah.

"Maaf ... maafin saya, Kek ...," mohonnya dengan suara parau.

"Jangan minta maaf padaku! Minta maaflah pada suamimu dan bertobatlah!"

Indah kini mulai tergugu dalam pelukan Hani. Sedang Galang hanya bisa menatap lurus ke depan, ke langit-langit kamar rumah sakit.

"Sekarang, kabari orang tuamu di kampung! Mereka harus tahu tentang semua ini."

Kakek kemudian bangkit, mendekati sang cucu satu-satunya.

"Lang ...." Pria berusia 65 tahun itu mengusap lengan Galang. "Kamu baik-baik aja?"

Galang mengangguk lemah.

Mata yang tajam milik pria beruban itu berkaca-kaca. Menampakkan kesedihan mendalam.

"Maafin Kakek ... maaf karena telah memaksamu kembali ke kota tanpa memikirkan perasaanmu."

"Kek ... jangan bilang begitu. Ini semua bukan salah Kakek."

"Tapi Lang--"

"Nggak, Kek. Ini bukan salah Kakek. Mungkin ini semua sudah jalan-Nya."

Kakek lalu merangkul sang cucu. Erat. Mereka saling berpelukan. Saling memberi kekuatan.
_______

"Indah ...!" teriak Mamak dan Bapak nyaris bersamaan ketika sampai di kamar rawat inap di mana Indah dan Galang berada. Kaget melihat kondisi sang putri yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan wajah pucat. Dan keterkejutan mereka tak hanya sampai di situ. Melihat Galang yang juga terbaring di ranjang satu lagi, bahkan dengan kondisi yang lebih memprihatinkan. Kaki kanan bagian bawah terbalut perban, sedang tangan kiri terpasang jarum infus.

"Nak Galang ...! Ke-kenapa kamu, Nak?" Mamak benar-benar nyaris kesulitan berkata-kata. Mendekati sang menantu lalu menangis di hadapannya. Bapak mengikuti di belakangnya, juga dengan raut wajah terkejut dan sedih.

"Nggak apa-apa, Mak, Pak. Saya kecelakaan. Cuma patah kaki, kok. Selebihnya baik-baik aja."

"Duh, Nak Galang ... wong patah kaki, kok, dibilang cuma. Itu parah, Nak ...." Bapak mengusap lengan sang menantu.

"Ehm!"

Kakek yang sedari tadi cuma berdiri bersandar pada dinding, kini mencoba membuka suara.

"Eh, Pak Bambang ... maaf, kami nggak menyadari ada Bapak di sini, saking kagetnya." Bapak buru-buru menjabat tangan kakek menantunya. Begitu pula Mamak, juga melakukan hal yang sama.

"Mari, silakan duduk dulu." Kakek menunjuk ke dua kursi plastik yang ada di sebelahnya.

"Bapak dan Ibu pasti lelah setelah perjalanan jauh dari kampung. Lebih baik Bapak dan Ibu istirahat dulu. Nanti malam kita akan membahas bersama mengenai Galang dan Indah."

"Memangnya ada apa dengan mereka, Pak?"

"Nanti saja kita bicarakan. Saya mau mengurus administrasi dulu," ucap Kakek penuh wibawa. Ia lalu memanggil Hani yang berdiri di dekat pintu.

"Han, kamu pulang dulu. Kamu ambil pakaian ganti buat mereka. Kembali ke sini besok pagi."

"Oh, iya, baik, Tuan. Sekalian saya mau minta izin keluar sebentar, ada urusan pribadi. Apa boleh, Tuan?" tanya Hani sedikit ragu.

"Baiklah, yang penting kamu beresin rumah dulu. Jangan lupa besok pagi kamu ke sini lagi."

"Baik, Tuan."

Gadis itu lalu bergeges pergi melaksanakan perintah.

Keadaan rumah masih sama seperti saat ditinggal kemarin. Bercak darah berceceran yang sudah mengering masih mewarnai lantai rumah. Juga pekerjaan rumah yang seharusnya dikerjakan oleh Hani, masih utuh tak tersentuh.

Sebenarnya badan masih terasa penat setelah sejak kemarin berada di rumah sakit. Namun, Hani tetap harus segera melaksakan tugas agar segera selesai, karena telah ada seseorang yang menantinya.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat gadis mungil itu selesai mengerjakan semuanya. Ia tampak lelah. Tubuh terbalut daster lengan panjang itu akhirnya terpaksa harus direbahkan di sofa ruang tivi karena letih yang tak tertahan. Di tengah kenikmatan meluruskan tulang punggung, ponsel di sakunya berbunyi. Sebuah pesan whatsapp masuk.

'Aku jemput sekarang.'

Membaca pesan itu, Hani berteriak kesal.

'Besok aja, ya, Tuan. Bisa, kan? Saya capek banget ini.'

'Nggak bisa! Harus sekarang!'

"Aaarrrggghhh ...!" teriak Hani sekencangnya. Ia terlihat begitu kesal. Meski begitu, ia tetap bangkit juga. Bergegas membersihkan diri, menjalankan shalat, lalu bersiap untuk pergi.

Tiga puluh menit kemudian, Hani telah berpakaian rapi. Dengan mengenakan tunik lengan panjang warna putih bermotif bunga-bunga kecil, celana kulot 'rempel' berwarna abu-abu, dan hijab 'pashmina' warna abu-abu membuat penampilannya terlihat berbeda dari biasanya. Nyaris tak memperlihatkan statusnya sebagai ART. Bahkan, ia tampak seperti seorang mahasiswi.

Tepat saat Hani keluar, sebuah mobil SUV mewah berwarna putih berhenti di depan rumah. Tanpa turun dari mobil, sang pengemudi hanya memencet klakson sebagai tanda ia telah sampai.

Gadis itu bergegas menghampiri. Saat kaca mobil terbuka, terlihat sosok pria tampan ada di balik setir.

Tbc.

Sweet Honey (COMPLETED √)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang