Part 11

3.8K 282 41
                                    

Hani dan Galang masih saling diam membisu. Pria memang selayaknya tak banyak bicara. Namun, Hani ... gadis itu tak biasanya diam. Sehari-hari cerewet. Seperti tak ada habisnya bahan untuk dibicarakan. Namun, tidak kali ini. Mulutnya seperti terkunci. Bahkan deheman pun tak keluar.

Kesunyian itu akhirnya pecah juga kala Kakek kembali. Hani segera bangkit lalu pura-pura menyibukkan diri dengan membereskan meja yang tak berantakan.

"Sudah selesai membersihkan badan, Lang?" tanya Kakek sembari berjalan mendekat. Meraih kursi plastik, lalu duduk di samping ranjang.

"Sudah, Kek," jawab Galang.

Kakek menarik napas dalam. Ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu untuk menyampaikannya.

"Ada apa, Kek?" Sang cucu satu-satunya seperti mengerti keresahan kakeknya.

"Emm ... Lang ... Kakek mau tanya sesuatu sama kamu."

"Apa itu Kek?"

Sejenak pria sepuh itu terdiam. Lalu beberapa saat kemudian menoleh ke arah gadis di belakangnya.

"Hani, bisa keluar sebentar?"

"Baik, Tuan." Gadis mungil itu segera melaksanakan perintah.

Kakek kembali menatap wajah sang cucu yang telah menjadi yatim piatu sejak berusia tujuh tahun karena orang tuanya meninggal dalam kecelakaan.

"Lang ... kamu sudah tahu semuanya. Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

"Entahlah, Kek ...."

"Lang, Kakek cemas proses penyembuhanmu akan lama karena kamu kepikiran masalah ini."

"Nggak usah khawatir, Kek. Aku sudah mengambil keputusan."

"Apa itu?"

"Aku ... mau cerai aja, Kek ...."

Desahan berat keluar dari mulut Kakek. Tak seperti sebelumnya, kini, pria tua itu hanya terdiam saja. Tak membujuk atau melarang. Seperti memberi lampu hijau atas keputusan sang cucu.

"Baiklah, kalau itu sudah jadi keputusanmu. Kakek nggak akan mencampuri. Yang penting, kamu sembuh dulu. Setidaknya kembali ke rumah. Urusan Indah, kita selesaikan nanti."
_______

Hari-hari di rumah sakit berjalan dengan kebisuan. Tak ada lagi kegaduhan dari kedua orang tua Indah. Mereka mungkin merasakan kecewa kepada putri mereka, atau mungkin merasa bersalah pada Galang, sehingga membuat hubungan mertua-menantu itu menjadi kaku. Galang tak mencoba mencairkan suasana karena rasa kecewanya yang terlalu berat. Sedang sang mertua juga tak punya nyali untuk mendekati sang menantu usai mendapat peringatan dari Kakek agar tak membicarakan masalah itu sementara waktu. Hal yang sama juga dilakukan kepada Indah. Bahkan, wanita tinggi semampai itu sama sekali tak berani menyapa pria yang masih sah sebagai suaminya itu.

Seminggu telah berlalu. Indah telah pulih, dokter sudah mengizinkannya untuk pulang. Sedang Galang masih dalam proses penyembuhan. Dokter juga telah memperbolehkannya kembali ke rumah.

Atas perintah Kakek, Hani mengemasi barang-barang untuk dibawa pulang. Semua sudah bersiap untuk meninggalkan ruang rawat inap saat tiba-tiba di depan pintu seorang pria tinggi tegap berdiri dengan satu tangan masuk ke dalam saku celana, sedang tangan yang lain melepas kaca mata hitamnya.

"Selamat siang," ucapnya.

Mata Indah membeliak. Dadanya bertalu dengan kuat. Keringat dingin mengucur deras di dahi.

Begitu pun dengan Galang yang mengetahui identitas pria itu. Ya, Galang pernah bertemu dengannya. Bahkan ia tahu bahwa pria itulah kekasih gelap sang istri. Sorot matanya memancarkan kemurkaan. Tangan mengepal kuat dan gigi-giginya gemerutuk saling beradu. Namun sayang, tak ada yang bisa dilakukannya. Hati terlalu lemah untuk mengorek lagi luka yang masih menganga. Lagi pula, apa yang bisa dilakukannya ketika untuk berdiri pun tak bisa. Bahkan hanya bisa terduduk di kursi roda dengan memeluk amarah di dada.

Sepasang mata menatap tajam ke arah Reymond. Ya, dia Hani yang selama beberapa hari terakhir selalu medapat teror dari pria berwajah tegas itu. Baik panggilan telepon maupun pesan singkat selalu menghantui kehidupannya kini. Mata mereka saling beradu tatap.

"Selamat siang. Anda siapa, ya?" Kakek bersikap biasa saja, tak mengetahui siapa yang berdiri tepat di depannya.

"Kakek! Dia itu--" Belum selesai ucapan Galang yang penuh emosi, sudah dipotong oleh Reymond.

"Saya pacarnya Hani!"

"Apa?!"

Semua orang terkejut. Terlebih Hani, Galang, dan Indah.

"Maaf, lebih tepatnya, Hani adalah calon istri saya. Jadi, kedatangan saya ke sini untuk menjemputnya. Izinkan saya meminta dia ikut dengan saya."

Lidah gadis yang dimaksud terasa seperti kelu. Tak bisa mengucapkan apapun. Bimbang. Jika menyangkal, bisa jadi akan terjadi perang karena pasti Kakek dan kedua orang tua Indah akan mengetahui siapa Reymond sebenarnya. Namun, di sisi lain, ia sama sekali tak mengerti rencana pria jangkung itu.

"Maaf, Nak, tapi Hani masih di jam kerja. Lagi pula, kami memerlukan tenaganya saat ini. Kami baru mau pulang," ujar Kakek.

"Oh, kalau begitu, izinkan saya membantu, Pak."

"Tidak! Jangan!" sahut Hani kilat.

"Tuan, izinkan saya bicara sebentar dengannya, apa boleh?" pinta Hani kemudian.

Kakek melihat ke arloji di tangan kirinya. "Baiklah, lima menit saja."

Dua tas besar yang di tangan kemudian Hani letakkan di meja. Ia meraih lengan Reymond yang terbalut jaket bomber dan menyeretnya menjauh dari orang-orang.

"Apa-apaan ini, Tuan?" tanya Hani tanpa basa-basi dengan raut wajah serius.

"Apa lagi? Ya, jemput kamu, lah! Siapa suruh kamu nyuekin aku! Telepon nggak diangkat, wa nggak dibalas!"

"Tuan, apa ini menyenangkan buatmu? Saya ini pembantunya Mbak Indah. Anda berani-beraninya datang ke sini bikin kerusuhan!"

"Hei! Sudah kubilang aku sama Indah itu nggak ada hubungan apa-apa. Kenapa kamu masih terus bilang gitu?!"

"Tuan, saya benci sama Anda! Kenapa? Karena Anda itu pecundang! Sudah berselingkuh, sampai Mbak Indah hamil dan kuguguran, tapi Anda malah mengingkarinya! Membantahnya!"

"Hei! Harus berapa kali aku bilang, aku bukan ayah dari janin yang dikandung majikanmu itu! Aku akui aku memang pernah tidur dengannya, tapi itu belum lama, Han! Mana mungkin bisa langsung jadi! Barangkali itu anak Galang, atau mungkin anak pelanggannya yang lain!"

Sepasang mata cokelat itu membeliak. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"A-apa ma-maksudnya, Tuan?"

"Aku dan Indah bukan pasangan kekasih. Sudah kubilang, hubungan kami cuma sebatas penjual dan pembeli. Kamu tahu, dia jual apa? Jual kenikmatan ...." Reymond sedikit memelankan suaranya pada kalimat terakhir. Meski begitu, gadis itu tetap saja tersentak bukan main.

"Ja-jadi ... se-selama ini Mbak Indah menjual diri?"

"Ya ... begitulah kenyataannya. Jadi, kalau kamu bilang aku seorang pria 'jajanan', ya, aku mengakuinya. Tapi kalau aku disebut perusak rumah tangga orang, aku menolaknya! Aku bukan pebinor! Aku mau kamu tahu itu, karena ... aku suka kamu. Aku mau kamu mempertimbangkan tawaranku kemarin."

"I-ini terlalu mengejutkan. Aku pusing. Tuan, tolong jangan nambahin lagi dengan tindakan konyolmu itu."

"Konyol apa? Aku serius!" Sebelah tangan Reymond kemudian terangkat. Mencoba untuk menyentuh wajah gadis manis di depannya. Namun, belum sempat menempel, ia menghentikan aksinya.

"Sorry ...," ucapnya lirih. "Mulai saat ini, aku janji nggak akan sembarangan nyentuh perempuan, termasuk kamu ... Hani."

Sweet Honey (COMPLETED √)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang