"Mak ...."
"Ya, Nduk?"
"Aku ...." Sejenak, Hani menarik napas, lalu melanjutkan kembali ucapannya. "Bisakah aku nggak memilih satu di antara mereka?"
Perempuan paruh baya itu tercenung mendengar jawaban sang putri.
"Kenapa, Nduk?"
"Aku nggak mau menyakiti salah satu dari mereka, Mak."
"Nduk," ucap Maryati seraya mengusap kepala Hani. "Bukankah dengan begitu kamu justru malah menyakiti keduanya?"
Hening.
Gadis itu terdiam.
Mereka yang berada di ruang tamu, yang tengah menanti keputusan Hani pun tak ada yang membuka suara. Hingga hanya nyanyian jangkrik yang terdengar.
"Nduk--"
"Mak," potong Hani. "Kalau pun aku harus memutuskan, aku akan mengikuti keputusan Mamak."
Alis perempuan bergamis biru itu berkerut.
"Maksud kamu?"
Mata gadis itu menatap mata sang ibu. Digenggamnya tangan wanita di hadapan.
"Mak, aku ingin Mamak saja yang menentukan siapa yang akan menikah denganku. Apa pun keputusan Mamak, aku tahu itu pasti keputusan yang terbaik, dan aku akan menerimanya, Mak."
"Kamu yakin, Nduk?"
"Insyaa Allah, Mak," jawab Hani mantap.
"Kamu nggak akan menyesal?"
Gadis itu menggeleng sebagai jawabannya.
"Baiklah kalau begitu."
Maryati segera bangkit. Melangkah keluar menemui mereka yang telah menanti sejak tadi.
_______Dekorasi pelaminan sederhana tertata rapi di satu sisi gedung yang tak terlalu luas. Meski begitu, tetap terlihat cantik dengan hiasan bunga krisan kuning di setiap sudut ruangan. Bunga kesukaan sang calon mempelai wanita.
Sebuah meja telah disiapkan lengkap beserta empat buah kursi, dua pasang saling berhadapan, yang nantinya akan digunakan untuk acara ijab kabul.
Beberapa sanak saudara dan tamu undangan telah hadir. Sesuai permintaan Hani, acara pernikahan ini memang hanya mengundang saudara dan teman dekat saja. Benar-benar sederhana, jauh dari hingar bingar pesta mewah.
Saat prosesi telah benar-benar siap termasuk kedua mempelai juga telah duduk di kursi ijab kabul ditemani orang tua dan saksi, seorang pria datang dari arah luar. Dengan mengenakan kemeja batik dan celana hitam panjang, ia berjalan memasuki gedung. Kedua manik matanya tak lepas menatap sang calon mempelai wanita yang begitu cantik dengan kebaya putih dan jilbab dengan warna senada.
Pria itu berdiri persis di depan gadis yang kemudian ikut berdiri. Mereka saling menatap sejenak.
"Selamat, Hani. Semoga kamu bahagia. Kalau kamu bahagia, aku juga ikut bahagia. Mungkin memang sudah jalan-Nya, aku nggak bisa miliki kamu." Suara pria itu terdengar seperti biasa saja, meski sebenarnya, ada luka menganga jauh di lubuk hatinya.
"Terima kasih, Mas. Maaf, jika ini yang harus terjadi. Saya cuma bisa berdoa semoga Allah mempertemukanmu dengan wanita yang jauh lebih baik dariku."
Senyum mengembang dari bibir pria itu.
"Aku pamit. Maaf, aku nggak menyaksikan ijab kabulmu. Yang penting, doaku selalu menyertaimu."
Usai mengucapkannya, ia lalu bergegas pergi meninggalkan gadis pujaan hati menikah dengan pria lain, dengan tertatih dan terluka.
_______
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Honey (COMPLETED √)
Lãng mạnSebelum baca, jangan lupa follow dulu, Gaes. Abis baca, jan lupa vote, yak. ******* "Buka pintunya, Tuan!" "Kok, kamu marah, sih?!" "Loh, ya, wajar saya marah! Tuan nyium saya tanpa izin!" Wajah gadis itu merah sebab amarah yang membuncah. "Kalau so...