Twelve

3.9K 287 75
                                    

Kekasih, tidur bersama, dan anak. Tiga kata itu terus berputar di otak Aeris bagai kaset rusak. Oksigen di sekitarnya seolah-olah lenyap, sekarang rasanya sulit sekali bagi Aeris untuk mengambil napas, dadanya sesak. Dia tidak ingin percaya dengan apa yang Meeta katakan kalau Leon pernah memiliki anak dengan mantan kekasihnya, tapi kenapa air mata ini tidak juga mau berhenti keluar? Sialan!

"Tuhan, apa ini yang menyebabkan Leon selama ini bersikap dingin kepadaku?" gumam Aeris menahan nyeri di dada.

Dia kembali teringat akan sikap Leon di awal pernikahan mereka. Lelaki itu tidak pernah memedulikannya, status pernikahan di antara mereka pun seolah tidak ada artinya. Bahkan Leon menolak bercinta dengannya malam itu. Aeris sekarang menyadari satu hal. Leon tidak pernah mencintainya. Lelaki itu mau menikah dengannya karena terpaksa.

Aeris merasa menjadi penghalang di hubungan Leon dan sang mantan kekasih. Andai saja mereka tidak menikah, Leon pasti akan menikahi mantan kekasihnya karena sudah ada anak dalam hubungan mereka. Lalu sekarang apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia melepas Leon agar mereka bisa kembali bersama? Haruskah dia menghancurkan pernikahannya demi kebahagian mereka? Tapi bagaimana dengan perasaannya? Siapkah hatinya terluka demi kebahagiaan Leon?

Air mata jatuh berderai-derai membasahi pipi Aeris. Padahal dia baru pertama kali jatuh cinta, tapi secepat itu pula dia harus patah hati.

"Es krim datang!"

Aeris segera menghapus air matanya karena mendengar suara Leon.

Leon tertegun melihat wajah Aeris yang berubah sembab. "Kenapa kamu menangis? Apa ada yang sakit?" Sorot khawatir tergambar jelas dari kedua mata Leon. Es krim itu terlepas begitu saja dari genggaman karena dia sangat mengkhawatirkan Aeris.

Entah kenapa menatap wajah Leon membuat hati Aeris semakin sakit. Andai saja ciuman itu tidak pernah terjadi. Andai saja mereka tidak pernah menikah. Andai saja dia tidak jatuh hati dengan keponakannya sendiri. Mungkin rasa sakitnya tidak akan sesakit ini.

Aeris merasa tidak pantas menahan Leon untuk terus berada di sisinya. Lelaki itu berhak bahagia bersama dengan wanita yang dicintainya.

"Kamu kenapa? Apa ada yang sakit?" Leon berjongkok di depan kursi roda Aeris. Dia begitu khawatir karena wajah gadis itu terlihat sangat pucat.

Aeris menggeleng pelan, lidahnya mendadak kelu untuk sekadar menjawab pertanyaan Leon, tapi air mata seolah menjawab semuanya. Kenyataan ini membuatnya sangat terpukul.

Tangan Leon terangkat, mengusap air mata yang membasahi pipi Aeris dengan lembut. Leon sangat yakin ada sesuatu yang terjadi dengan istrinya. Padahal Aeris tadi baik-baik saja, bahkan mereka sempat bercanda bersama sambil mengelilingi taman.

"Kita kembali ke kamar, ya?" tanya Leon penuh pengertian.

Aeris mengangguk ragu. Jika Leon tidak pernah mencintainya, kenapa lelaki itu sangat perhatian? Apa arti semua perhatian itu? Apa semua perhatian Leon hanya bentuk tanggung jawab sebagai suami?

***

Aeris mendadak lebih banyak diam, hal itu malah membuat perasaan Leon tidak tenang. Gadis itu biasanya selalu banyak bicara dan menanyakan hal-hal konyol pada dirinya. Namun, setelah kembali dari taman rumah sakit semua mendadak berubah. Leon sangat yakin pasti terjadi sesuatu hingga membuat kondisi Aeris kembali drop. Tapi apa? Leon tidak tahu.

Aeris tidak mau makan, padahal sekarang sudah lewat jam makan malam. Akhirnya dokter terpaksa memberi infus tambahan, padahal sore tadi dokter berencana ingin melepas infus Aeris.

"Aeris, makan dulu, ya?" Leon kembali membujuk sang istri agar mau makan.

Namun, lagi-lagi Aeris menggeleng. Gadis itu masih setia berbaring memunggungi Leon, sementara air mata kembali membasahi pipinya. Aeris sedang berperang melawan ego dan hatinya sendiri. Ego menyuruhnya untuk melepas Leon agar lelaki itu bisa hidup bahagia bersama anak dan mantan kekasihnya. Namun, hatinya menyuruh untuk tetap bertahan di sisi Leon.

Menikah dengan Keponakan [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang