"Bu Thea, Buku 'Fisika Instant' ada dimana?" Kata gue sedikit berteriak sambil mencoba menepis beberapa buku yang bukan merupakan alasan gue panik saat ini.
Dari balik rak besar Bu Thea menyahut, "Cari aja disitu Bu Thea lagi bawa buku-buku baru."
Buku baru? Eh ini bukan waktunya untuk senang!
Astaga dimana sih buku itu...
"Nyari apa kak?"
Gue mendongak melihat siapa orang yang baru saja ngajak gue ngomong. Setelah melihat wajahnya gue menunduk untuk melanjutkan mencari buku. "Nyari buku."
Anisa meletakkan setumpuk buku Kimia ditangannya ke rak disebelah rak ini. "Iya kak, maksudnya kakak nyari buku apa?"
Mo ngapain juga nanya-nanya. Sok care.
"Fisika Instant."
"Ooh...," Anisa ikut menelusuri rak.
"Lo ngapain?" Gue melihatnya menunduk dan menekuni rak paling bawah.
Dia mendongak, "Bantuin nyari buku itu." Ia menunduk lagi dan mengambil sebuah buku bertuliskan huruf dengan font besar 'FISIKA INSTANT'. "Yang ini kan bukunya?"
Lah langsung ketemu.
Gue mengambil buku itu dan benar ini buku yang gue cari.
"Kakak tinggi banget sih, jadi nggak bisa lihat rak bawah walaupun udah nunduk." Katanya sambil tertawa dan gue masih nggak tau apa yang lucu.
"Gue bisa kalo gue mau." Kata gue.
Dan dia berhenti tertawa.
"Makasih, oh iya!" Gue mengambil uang dari saku seragam gue. Dan gue kasih ke dia. Sebenernya gue udah nyiapin uang ini dari malem. Gue nggak mau gue sama dia jadi ada ikatan cuma karna gue nggak bayar dia kemaren.
"Gue ngasih ini bukan karna nganggep Lo kuli, gue ngasih ini karna gue nggak mau harus balas budi." Gue langsung berbalik dan mulai melangkah,
"Tapi...,"
"Dan gue juga nggak mau jadi temen lo." Kata gue mengakhiri obrolannya. "Makasih."
Langsung gue bawa buku itu ke Bu Thea untuk mengisi daftar pinjam lalu gue balik ke kelas tanpa menunggu Anisa mengucapkan sama-sama.
😄😄😄
Gue berjalan dengan ketenangan sambil sesekali menghirup udara sore hari seperti biasanya. Anisa. Cewek itu juga ada di belakang gue seperti biasa. Biasanya dia nggak bersuara sama sekali, tapi hari ini gue bisa mendengar langkah kakinya.
Orang sepertinya keliatannya anak yang begitu mandiri. Kerja paruh waktu di toko cat mini sepulang sekolah, nampak berat kalo gue yang jalanin.
Huuh...
Ngapain juga gue mikirin dia. Belakangan ini gue terlalu membuang-buang waktu dan pikiran gue cuma buat mikirin dia. Dasar goblok.
"Kak...,"
"Kak Arif!"
Anisa manggil gue. Mo ngapain lagi sih dia. Gue tetap berjalan dengan santai tanpa menghiraukanya.
Gue lalu bisa mendengar ia berlari. "Kak Arif...!" Dia berjalan disamping gue beriringan.
"Apa?"
"Soal uang tadi..."
"Jangan dibahas!"
Cewek itu mengatupkan mulutnya. Tapi dia bicara lagi. "Aku udah bikin kakak marah, ya?"
"Iya." Jawab gue singkat tanpa melihat wajahnya.
Dia menunduk, "Maaf... tapi apa kesalahan ku?"
"Terus muncul didepan gue dan di kanan kiri gue tanpa ijin. Dan gue nggak suka dipanggil kakak."
"I-itu, bentuk rasa hormat..."
"Gue nggak butuh dihormati, dan sebenernya, gue nggak butuh berinteraksi sama lo. Jadi nggak usah maksain buat nyapa gue, jalan aja dibelakang gue kaya biasanya."
"Tapi aku nggak terpaksa kok nyapa kamu."
Kamu?!
Gue berhenti.
"Nggak usah boong! Gue tau kok lo takut sama gue!"
Orang naksir dibilang takut_-
Dasar nggak peka!
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGING AT 12 ACLOCK'
Ficção AdolescenteCeweknya nggak gercep, dan cowoknya nggak peka? Gimana bisa jadian! Nyetalking kakak kelas dari 12-IPA-A, Arif Alexander, adalah hobi Anisabelle si cewe SMA yang biasa-biasa aja. Sebenarnya Kak Arif nggak ganteng-ganteng amat, tapi ntah kenapa Anisa...