I DON'T WANNA SEND [Anisa POV]

3 1 0
                                    












Gue berusaha mengatur nafas dan menumpukan tangan gue di lutut. "Gung! Agung!"

Dari dalam toko, Agung dan Sela keluar sambil berlari kecil.

"Kenapa lu, Sa?"

"Anisa lo kenapa? Sini-sini duduk dulu!" Sela membawa gue duduk di kursi dekat tumpukan cat berwarna merah.

Kami bertiga duduk dan gue masih nggak bisa menormalkan nafas gue. "Arif... Kak Arif, Gung!"

"Arif kenapa?" Agung jadi ikut panik.

"Kak Arif... Kak Arif dibawa pergi sama Mama nya ke Jakarta!"

"Dibawa pergi? Dibawa pergi gimana maksudnya?" Tanya Sela.

Gue menekan dada gue menahan sesak. "Tadi gue nggak sengaja ketemu sama Kak Arif didepan Supermarket. Pas kita lagi ngobrol sebentar, Mama Arif tiba-tiba dateng terus bawa Kak Arif."

Agung nampak tengah berpikir mencoba mencerna kata-kata gue. "Dia udah berangkat?"

Gue menggeleng-geleng. "Gue nggak tau. Tadi pas gue lewat rumahnya, gerbangnya dikunci. Tapi tiap hari kan juga gitu."

"Ya kalo udah nggak ada mobil berati mereka udah berangkat. Trus, Arif cuma dibawa sebentar apa bakalan lama disana?" Tanya Agung lagi.

Lagi-lagi gue menggeleng, "Gua nggak tau, Gung! Gua nggak tau!" Tanpa sadar air mata gue tiba-tiba menetes membayangkan Kak Arif nggak akan balik kesini lagi.

Sela mengusap-usap punggung gue perlahan, "Emang lo bener-bener suka sama dia?"

Pertanyaan Sela membuat air mata gue semakin deras keluar. Perasaan yang selama ini gue tumbuhin pelan-pelan ke Kak Arif, apa itu rasa suka?

Ngikutin Kak Arif dari belakang, nyetalking sosmed nya semampu gue, dan ngesave nomer wa nya tanpa gue tc, itu semua hal yang ngebuat gue happy.

Gue selalu nggak peduli dengan perasaan itu. Gue menganguminya diam-diam dan gue bahagia karena itu.

Dan sekarang, Kak Arif udah nggak disini. Gue nggak tau kenapa ada sesuatu dalam dada gue yang terasa tertekan dan begitu sakit.

Sewaktu gue ada diantara pertengkaran Kak Arif dan Mama nya, pengen rasanya gue tarik Kak Arif pulang kerumahnya mengunci gerbangnya supaya nggak ada orang yang bisa bawa dia pergi dari gue. Tapi gue sadar. Gue cuma orang asing. Dan bahkan kalo gue deket sama mereka, memisahkan seorang Ibu dan anak bukan merupakan hal yang baik.

"Sa..."

Gue terperanjat.

"Kok malah ngalamun sih? Ditanyain juga!"

Gue menyeka air mata gue. "Saat ini gue cuma ngrasa gue nggak rela dia pergi."

"Iya, itu yang bakal lo rasain kalo lo lagi kehilangan orang yang lu sayang." Kata Sela masih mengelus punggung gue. Sementara Agung hanya mengiyakan.

Sayang?

Gue bener-bener nggak paham hal-hal kayak gitu.

"Trus gue harus gimana, sekarang? Gue nggak mau diem aja." Gue menggeleng keras dan menutup wajah gue dengan kedua tangan gue.

"Em, gue telfonin Arif, mau?" Tawar Agung.

"Iya telfonin, ya!" Kata gue langsung. "Tapi jangan kasih tau Kak Arif kalo Lo tau dari gue..."

"Napa emang?"

"Ya gue nggak mau aja kalo image gue makin turun di depan Kak Arif."
"Image turun?" Sela berhenti mengelus punggung gue.

Gue mengangguk, "Kak Arif ngira gue takut sama dia gara-gara setiap tatap muka ekspresi gue nunjukin kalo gue takut sama dia. Padahal kan itu karna gue grogi."

Sela menghembuskan nafas, "Yah, lu juga sih..., bukanya jaim juga!"

"Udah-udah! Jadi nggak nih telfon Arif nya?!"














Babank Arif😐

SINGING AT 12 ACLOCK'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang