"Hallo, Rif! Lu dimana sekarang?"
"Di mobil. Perjalanan ke Jakarta"
"Oh jadi bener mau ke Jakarta?"
"Iya, tau darimana?"
"A-anu,tadi gue liat lu dijalan"
"Oh,"
"Trus lu bakal lama disana?"
"Iya, Gung. Nyokap gue udah urus surat perpindahan gue di sekolah tadi siang. Gue pindah sekolah disini."
"Trus rumah lu disini gimana?"
"Itu rumah Papa. Bakal diapain nantinya, itu terserah Papa."
"Oke bro. Ati-ati dijalan ya! Kapan-kapan kesini!""Gue udah nggak ada urusan lagi disana."
"Ya tapi kalo gue kangen sama lu gimana?"
"Homo lu!"
"Enak aja, gue udah ada cewek."
"Siapa sih, Rif?"
"Itu siapa, Rif?"
"Nyokap. Udahan dulu yak."
"O..."
Tut...Tut....Tut....
Dari seberang Kak Arif mematikan telfonnya.
Gue mendengar semua percakapan Agung dan Kak Arif. Dan disaat itu pula dada gue bener-bener sesak.
Dia nggak akan kesini lagi.
Trus gue gimana?
Nggak, Sa!
Lu kenapa sih?
Arif itu bukan siapa-siapa lo!
Arif itu orang asing, ngapain juga lo nangis?! Lebai ah!
Nggak ada dia pun harusnya lu nggak akan kenapa-kenapa.
Ah, nggak bisa.
Ada sesuatu dihati gue yang terus bergejolak. Antara menyesal dan kehilangan. Gue nggak tau apa yang gue sesali dan gue nggak tau apa yang hilang.
Gue nggak mau begini... Gue nggak mau!
Agung dan Sela mencoba menenangkan gue tapi gue nggak terlalu memperdulikannya. Gue nggak tau apa yang terjadi sama gue. Gue ngerasa gue aneh, karna merasa kehilangan orang asing.
Nggak!
Kak Arif bukan orang asing.
😄😄😄
"Anisa..."
Gue menengok ke belakang. Seorang nenek yang badannya kian membungkuk tersenyum ke gue dibalik pagar rumah.
Gue membalas senyumnya, tapi ia mungkin tau ini bukan senyum yang tulus.
"Nenek udah makan?" Tanya gue padanya.
Ia hanya mengangguk.
"Udah abis ya makanannya, nek?
Nenek masuk dulu. Bentar aku masakin lagi, ya!" Baru saja gue membuka pintu rumah gue, Nenek Milea memanggil nama gue lagi.
"Anisa..."
Sekali lagi gue menengok, "Ada apa, nek?"
"Kamu lagi sedih, ya?"
Gue menunduk. Nggak sanggup melihat wajah Nenek Milea.
"Nenek boleh masukkan?"
😄😄😄
Gue dan Nenek Milea duduk di sofa ruang tamu kecil rumah gue sambil menonton acara tv sore.
"Nenek udah menganggap Anisa sebagai cucu nenek sendiri. Melihat Anisa sedih, Nenek juga ikut sedih." Kata Nenek Milea memulai pembicaraan.
"Anisa baik-baik aja kok, Nek...," jawabku singkat.
Nenek Milea menghembuskan nafas pelan, tersenyum, lalu mengelus rambutku. "Nenek tau bagaimana permasalahan anak-anak seusia Anisa."
Gue terdiam.
"Nenek nggak maksa Anisa buat cerita, kok."
Gue masih diam.
"Malahan Nenek yang mau cerita sama Anisa..., Anisa mo denger?"
Kali ini gue mengangguk.
"Dulu waktu Nenek masih SMA seperti kamu, nenek juga punya cinta. Dia peduli sama Nenek, perhatian sama Nenek, dan dia nggak pernah cape ngejar-ngejar Nenek. Udah beberapa kali Nenek menunjukan penolakan tidak langsung. Tapi dia masih tetep gigih. Itu yang membuat Nenek luluh." Cerita Nenek.
"Enak ya jadi Nenek. Carita nenek berakhir bahagia."
Lagi-lagi Nenek tersenyum. "Cerita Anisa juga bisa berakhir bahagia... Anisa juga harus coba mencontoh almarhum suami Nenek. Dia gigih. Tuhan pasti beri jalan kok kalo kalian emang jodoh. Tapi kalo kalian nggak berjodoh, jangan memaksakan. Itu cuma menyiksa diri sendiri."
"Tapi Anisa nggak tau, apa dia jodoh Anisa atau bukan, nek. Sekarang aja dia dijauhkan sama Anisa."
"Jarak dan waktu bukan penghalang. Kalo Anisa nggak tau, kenapa Anisa nggak mencoba mencari tau?"
Rindu itu berat:v
~Dilan:V
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGING AT 12 ACLOCK'
Roman pour AdolescentsCeweknya nggak gercep, dan cowoknya nggak peka? Gimana bisa jadian! Nyetalking kakak kelas dari 12-IPA-A, Arif Alexander, adalah hobi Anisabelle si cewe SMA yang biasa-biasa aja. Sebenarnya Kak Arif nggak ganteng-ganteng amat, tapi ntah kenapa Anisa...