Bab 8 Pindah

5.5K 141 7
                                    

Suara adzan subuh menggema, membangunkan seorang gadis yang baru beberapa jam lalu telah berstatus sebagai seorang istri dari lelaki cuek nan dingin.

Lelaki itu sudah siap dengan baju koko, sarung serta peci yang melekat pada tubuhnya, memberikan kesan wibawa, lembut dan sholeh.

Beberapa kali Griya mengerjapkan mata, karena sedang berhalangan, jadilah Griya hanya menatap pemandangan asing yang baru pertama kali ia lihat dan itu akan menjadi kebiasaan setiap hari sampai ia tua nanti.

Kamar dengan pencahayaan redup itu membuat Dion tidak menyadari jika Griya tengah terjaga dan menatapnya dengan senyum tipis menghiasi wajah cantiknya yang berbalutkan jilbab instan.
Memang sejak semalam Griya sama sekali enggan melepas jilbabnya meski Dion sudah sah menjadi suaminya.

Pelan, Dion beranjak meninggalkan kamar dan bergegas ke masjid untuk melaksanakan sholat subuh.

Dari balkon kamarnya Griya dapat melihat suaminya sudah meninggalkan rumah, Griya pun bergegas turun ke dapur.

Di dapur terlihat 2 orang wanita paruh baya yang sedang bersiap memasak.

“Mah, Umi?” panggil Griya setelah sampai di dapur.

“Loh, Griya kok kamu sudah bangun, nak?” tanya Umi lembut padanya.
“Udah, Mi. Griya bantu masak ya Mi, Mah.” Ucap Griya samnbil duduk di meja makan dan mulai memotong sayuran yang ada di meja makan. 

Matahari sudah mulai memperlihatkan sinarnya, Griya sedang menyirami bunga-bunga dihalaman depan rumahnya.
Suara gerbang terbuka dan muncul 2 orang lelaki yang amat Griya sayangi bersama seorang lelaki yang Griya masih merasa asing namun pria itu adalah suaminya.

Setelah menjawab salam Griya mencium tangan pria itu satu persatu, saat Griya akan mencium tangan Dion rasa canggung menyergap, membuat jantung Griya berdegup dengan kencang.

Huft... kenapa cium tangan aja sampek kringetan gini sih, padahal masih pagi. Ucap Griya dalam hati.

Beberapa detik kemudian Fito dan Geran pamit masuk, “Kita masuk dulu ya, cepet nyusul terus sarapan bareng,” kata Fito pada menantu serta anak nya.

Griya POV
Ayah dan bang Geran meninggalkan aku dengan pak Dion dihalaman depan.

Ya ampun rasanya canggung banget, mau ngomongin apaan coba.

“Ayo masuk Griya. Pasti semua sudah menunggu kita.” Kata pak Dion melepas keheningan diantara kami.

“Iy..iya pak,” jawabku sambil menunduk lalu segera mengekori pria itu.

Suasana sarapan hari sangat berbeda, kursi meja makan semua terisi.
Papa duduk di ujung, disisi kanan ada Abi dan Umi, disisi kiri diisi Mama, aku, pak Dion baru bang Geran.

Tinggal satu kursi dihadapan bang Geran yang kosong. Setelah memanjatkan doa.

Mama memulai duluan, mengisi piring Papa dengan nasi dan lauk pauk lalu mengisi piring milik bang Geran baru piring Mama. Setelah Mama, Umi mengisi piring Abi dan piring Umi sendiri.

Kok Mama gak ngisi piring gue sih. Ah nyebelin deh, batinku.

Lalu segera mengisi piringku sendiri dengan nasi. Aku merasa ada yang menyenggol kakiku namun tak ku hiraukan.
Aku tak sadar jika semua tengah memandangku, tiba-tiba pak Dion menggeser piringku dan-

“Kita makan satu piring ya Griya,” ucapnya dengan wajah senyum yang sangat manis membuat melongo, berfikir keras untuk mencerna kata-kata pria itu.

“Ekhem, hadeh ni nasi banyak banget sih gak ada yang bantuin makan.” Kata bang Geran sambil menyuapkan makanannya.

“Pak.. pak Dion apaan sih. Siniin piringnya, makan sendiri aja.” Ucapku dengan gugup tanpa menghiraukan sindiran bang Geran dan tatapan dari yang lain, aku tau Mama, Papa serta Umi, Abi menahan tawa agar tidak meledak karena melihat perlakuan pak Dion pada ku.

Selesai sarapan, aku, Mama, dan Umi membereskan meja makan.
“Griya, apa setelah ini kalian akan langsung pindah?” tanya Mama, seketika keningku berkerut.

Bingung apa yang sedang dibicarakan Mama. “Siapa yang mau pindah Ma,?” tanyaku.

“Loh, Dion belum membicarakannya denganmu? Oh mungkin dia mau memberi surprise pada mu,” kali ini Umi yang menyahut.

“Surprise? Surprise apa?” aku makin bingung dengan jawaban Umi.

“Setelah ini kamu siap-siap. Kita akan segera pindah ke rumah yang sudah saya persiapkan.” kata seorang pria yang baru saja masuk kedapur dengan wajahnya yang senantiasa datar.

Ucapan pria itu lagi-lagi membuatku terperangah, untuk kesekian kalinya aku tidak tau apa-apa. “Kenapa harus pindah sih pak? Kenapa gak tinggal disini aja.” Kataku memberengut.

“Apa? Kenapa kamu memanggil suami mu dengan sebutan pak, dia itu suami mu bukan guru mu lagi Griya. Pokoknya Mama gak mau tau kamu harus ubah pangilanmu itu!” belum sempat pak Dion menjawab, Mama sudah menyela dengan nada meninggi tanda tidak mau dibantah,

“Tapi Ma-”

“Gak ada tapi-tapi!! Sekarang kamu siap-siap sana. Urus suami mu dengan baik.” Kata Mama lagi.

Ni emak gue pagi-pagi udah nyela-nyela omongan orang aja, Batinku.
Sambil beranjak dari dudukku menyusul pria datar yang sudah menaiki tangga.

“Pak,” panggilku setelah kami sampai dikamar. Namun pak Dion sama sekali tak meresponku, “Paaaaakkkkk!!!” teriakku, untung saja ruangan dirumahku kedap suara.

“Apa sih Griya. gak perlu berteriak saya pasti denger.” Ucap pak Dion menetapku jengah.
“Ish, tadi dipanggil gak nyaut. Sekarang aku teriak malah marah. Dasar nyebelin.” Gerutuku beranjak duduk dipinggir tempat tidur.

Bibirku sudah maju beberapa cm sambil menatap pria itu yang sedang mengeluarkan koper dari lemari dan semakin sebal saja saat ucapanku lagi-lagi tidak direspon oleh pak Dion.

Nih cowok bener-bener ya. Minta gua lempar ke jurang. “Pak! Ishh!! Pak Dion belum jawab pertanyaan Griya tadi! Kalo pak Dion gak jawab, Griya gak mau ikut pak Dion pindah!” ancamku.

“Kamu mau tiap hari dipaksa-paksa Mama buat panggil saya dengan sebutan Mas? mau tiap hari ditanyain kapan kasih cucu?” tanya pak Dion sambil duduk disebelahku.

Mendengar itupun aku langsung memberengut, menunduk. Ada rasa sebal dan malu secara bersamaan.

“Saya gak akan pernah paksa kamu Griya. Saya gak ingin membebani kamu dengan status sebagai istri saya, kamu bebas mau melanjutkan pendidikan kamu. Saya- saya juga gak akan paksa kamu melakukan kewajiban kamu sebagai istri saya.” Ucap pak Dion dengan tatapan yang begitu dalam kearah ku.

Perkataan pak Dion membuatku tiba-tiba gelisah, aku rasa oksigen dikamarku lenyap begitu saja.

Oh Tuhan, ya Allah kenapa tiba-tiba sesek gini sih. Aduh jadi ngerasa bersalah gue sama pak Dion. Kenapa pak Dion tiba-tiba jadi baik terus lembut gini? Batinku terus berkecamuk.

Sedangkan pak Dion sudah kembali berkutat dengan kopernya. Suara ketukan menyadarkanku dari lamunanku, membuatku beranjak membukakan pintu dan menemukan Mama disana.

“Griya kamu jangan lupa bawa baju-baju yang Mama beliin kemarin ya,” kata Mama mengerlingkan mata padaku dan langsung kembali turun ke bawah.

Aku pun melongo melihat tingkah Mama. Memang kemarin Mama sempat menyodorkan paperbag namun aku belum membukanya.
Karena penasaran akupun segera menutup pintu dan membuka paperbag pemberian Mama.

Aku langsung terperanjat melihat isi nya. “Astagfirullah..... ya Allah!!!” teriakku saking kagetnya dan terduduk disofa kamar.

Pak Dion mendekatiku dan melihat isi paperbag yang ku pegang. Keningnya berkerut,

ah Mama apaan sih. Baju tipis gitu dikasih ke anaknya. Batinku terus berontak.

“Jangan dipake kalo gak nyaman. Tapi tetep bawa aja biar gak ngecewain Mama.” Kata pak Dion dan dia berlalu ke kamar mandi.

🌟🌟🌟

Maaf lama update nya, karena aku juga bingung nulisnya. Soalnya susah bgt dapetin feel nya.
  Happy reading❤ jgn lupa vote dan komen :)

You Are My HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang