Four

3.8K 638 69
                                    

Jeongin sangat menyayangkan nasibnya yang kacau seperti ini. Ia pikir setelah malam itu, hubungannya dengan Minho bisa jadi lebih baik meski dengan Hyunjin tetap buruk.

Malam itu, saat Jeongin dikuncikan di luar rumah oleh Hyunjin. Minho memindahkannya, membopong tubuh kecilnya yang sedang meringkuk kedinginan ke dalam kamar lalu menyelimutinya dan menyalakan penghangat ruangan untuknya.

Jeongin tidak perlu bertanya mengapa dia bisa berpindah tempat, karena ia sempat terbangun saat Minho menyentuh tubuhnya untuk kemudian di angkat dengan kedua lengan kekarnya.

"Terima kasih, Mas Minho."

Kalimat pertama yang Jeongin ucapkan saat membuka mata. Ia lihat Minho sedang kemas barang untuk berangkat kerja.

"Hm, Mas sudah buatkan susu hangat untukmu itu di nakas. Habiskan, mas enggak bisa masak, nanti kamu beli makan aja. Mamah juga sebentar lagi sampai kok. Mas berangkat kerja dulu ya, jaga rumah. Soalnya Hyunjin sudah berangkat duluan."

Itu adalah kalimat terpanjang yang keluar dari bibir Minho yang pertama kalinya Jeongin dengar.

"Oh ya, kamarmu besok sudah beres, jadi kamu bisa langsung pindah ke sana."

"Iyo Mas, makasih banyak."

"Sudah ya, Mas tinggal."

Sejak saat itu hubungan Jeongin dengan Minho menjadi lebih akrab, bahkan pernah terbesit dipikiran si bungsu jika ia menyukai kakak tirinya itu.

"Mas Minho," panggil Jeongin saat Minho baru pulang mengajar. Laki-laki dua puluh enam tahun itu hanya berlalu tanpa menghiraukannya.

Hyunjin meringis lihat wajah Jeongin yang babak belur, demi Tuhan dia ngilu sendiri melihatnya. Jeongin itu lembut, di matanya bahkan Jeongin terlihat seperti seorang gadis mungil yang manis dan menggemaskan. Membayangkan seorang gadis dipukuli hingga babak belur begitu Hyunjin jadi tak tega.

Masalahnya, Jeongin itu laki-laki. Setelah Hyunjin pikirkan lagi ia malah jadi sebal dengan adik tirinya itu. Makin sebal karena menurutnya Jeongin benar-benar menyalahi aturan laki-laki dan ia tidak seharusnya hidup.

"Masih mau tinggal di sini?"

"Ini rumahku."

"Mau melawak ya? Banci kayak kamu seharusnya ada di pinggir jalan. Laki-laki kok lembek? Jijik banget."

"Terus kenapa kalau aku lembek? Aku bukan banci, lagipula aku enggak berdandan kayak perempuan. Cuma karena aku beda bukan berarti Mas Hyunjin sama Mas Minho bisa seenaknya ngerendahin aku terus."

"Jadi homo kok bangga? Kamu sudah nggak ada urat malunya ya? Kamu lahir saja tuh sudah jadi aib keluarga dan dengan kamu homo, kamu sadar enggak kalau kamu nambahin aib?. Astaga, ingin aku sumpahi biar cepat mati aja rasanya."

Jeongin berlalu, terlalu muak untuk meladeni ocehan Hyunjin. Ngakunya laki-laki, selalu menjunjung tinggi kodrat alami laki-laki, tapi punya mulut lebih parah dari nyir-nyiran perempuan. Dasar bajingan.

Kamarnya terletak di antara kamar Minho dan Hyunjin, saat Jeongin akan masuk ke kamarnya. Minho keluar dari dalam kamar.

"Mas Minho,"

Minho tidak menjawab, terus jalan lewati Jeongin dengan wajah datarnya.

"Mas, aku punya salah apa sama Mas? Mas bahkan sudah pukuli aku kayak gini, belum puas? Kupikir Mas Minho berbeda dengan Mas Hyunjin. Nyatanya kalian sama, sama-sama bocah dengan pikiran pendek."

"BANGSAT!"

Blam!

Emosi Minho memuncak, Jeongin dan mulut sialannya itu harus diberi hukuman.

Road Not TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang