Five

4.3K 748 344
                                    

Jeongin melenggang cepat melintasi kerumunan mahasiswa di dalam salah satu lorong universitasnya, saat tubuh pemuda itu hampir sampai ke tempat yang lebih sepi, ia mendengar namanya di panggil.

"Jeongin!"

Satu kali. Batinnya tanpa menoleh meski Jeongin mengenali dengan jelas siapa pemilik suara itu. Suara kakak tingkat kesayangannya. Pemuda yang membuat isi perutnya terasa jumpalitan setiap kali mereka dipertemukan.

"Jeongin!" Panggil Jae sekali lagi.

Dua kali. Jeongin-pun berhenti melangkah dan melengok kebelakang, sengaja merespon dalam panggilan kedua agar tidak terlihat terlalu gampangan-- saran Yuna, sohib barunya yang ia jumpai di kampus ini.

Bibir anak itu mengulum senyum kecil seraya menunggu sosok Jae mendekat.

"Kakak nyari kamu seharian. Habis darimana?"

Jeongin menyapu keringat di dahi Jae dengan telapak tangannya sebelum menjawab, "Tadi nemenin Yuna ke gedung garuda. Dia ada latihan tari. Kak Jae nyari Jeongin ada perlu apa?"

"Nggak ada, sih.. " Jae ikut tersenyum kecil melihat gostur manis itu, jemarinya yang panjang lantas terulur menyentuh pipi Jeongin, menatap pemuda dihadapannya dengan sorot lembut, 

"Tapi?" Tanya Jeongin, menuntut pria jangkung tersebut untuk melanjutkan.

"Tapi kakak kangen kamu. Sehari nggak lihat kamu tuh rasanya kaya ada yang kurang, dek."  

"Kenapa?"

"Ya soalnya kalau lagi sayang kan emang gini, pinginnya ketemuan terus."

Jeongin menelan ludah dan melihat sekeliling, gugup setelah mendengar Jae baru saja mengungkapkan isi hatinya secara terang-terangan. Ini adalah salah satu alasan mengapa Jeongin murah sekali untuk jatuh sayang pada pemuda tersebut. Jae tidak pernah malu untuk menjadi dirinya sendiri, mengungkapkan apapun yang mengganjal di isi kepalanya, dan membiarkan semua orang melihat tanpa merasa ada yang perlu ditutup-tutupi.

Kedekatan keduanya terjalin begitu saja seperti suratan takdir. Seolah mereka adalah sepasang merpati yang sengaja dilepas untuk dipersatukan kembali.

"Saya gay. Jeonginmasih mau berteman sama saya?" Ucap pemuda itu kala itu.

"Mau, kok. Gay atau enggak, bukan jadi masalah buat saya." Ujar Jeongin mantab. Mereka saling bertatapan beberapa saat, Jae yang terlebih dahulu menggunting tatapannya.

"Karena Jeongin juga gay?"

"Enggak!" Bantah Jeongin gelagapan, "Kakak jangan sok tahu!"

"Oh... Terus kalau Jeongin bukan gay, kenapa Jeongin curi-curi pandang sama aku terus?" Tanya Jae penuh goda, karena setelah sekian lama suasana menjadi hening tanpa jawaban, ia-pun melepas segelintir gelak tawa,  "Love is love, Jeongin. Kamu harus menerima diri kamu sendiri sebelum kamu menaruh harapan bahwa orang lain akan menerima kamu suatu saat nanti."

"M-maksud kakak apa?"

"Kamu tahu maksud aku. Kamu bukan orang bodoh."

Wajah Jeongin sudah pucat pasi. Kedua bola matanya membeliak menatap wajah Jae tidak percaya, bibirnya yang mungil sedikit terbuka, kelu karena tidak mampu mengucapkan sepatah katapun.

"Mau berdiri disitu sampai kapan? Tutup mulutnya, nanti kemasukan nyamuk."

Jeongin cemberut sebelum ikut melangkah mengimbangi kaki Jae yang panjang-panjang, "Kak Jae nggak malu?"

"Daripada malu karena cemoohan orang, aku lebih malu sama diriku sendiri karena tidak bisa berdamai dengan takdir dan menerima keadaan. Aku gay, that's it. Nggak ada pengaruh, nggak ada trauma. Murni. Sejak kecil nggak pernah tertarik dengan vagina dan payudara."

Road Not TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang