Twelve

6.7K 690 603
                                    

Kejadian di kamar Minho yang belum sempat mereka tuntaskan itu nyatanya masih mengganggu pikiran Jeongin di hari-hari berikutnya.

Bagaimana kalau Mamah mereka tidak datang? Apakah Jeongin sudah menyerahkan seluruh tubuhnya kepada sang kakak?

Sialan, Jeongin jadi mulai terbawa perasaan.

Jeongin merasa dirinya memiliki hak untuk menuntut sekarang. Sebab gelenyar-gelenyar gairah yang ia rasakan saat bersama Minho, serta perasaan meledak-ledak yang mereka timbulkan tentu saja bukan suatu hal yang bisa Jeongin tepis begitu saja. Minho pasti memiliki rasa yang sama besarnya. Iya, kan?

Pula, ia tidak boleh membiarkan dirinya dendiri dipermainkan seperti ini. Dia menolak menjadi orang naif yang bodoh.  Jeongin harus mendengar dari mulut pria itu tentang kejelasan hubungan mereka. Segera. Secepatnya.

"Ndul, ayo keluar." Tegur Yuna sembari menyentil telinga sahabatnya, "Ngelamunin apa, sih?" Lanjut gadis itu sembari merapikan alat tulisnya yang tergeletak sembarangan diatas meja.

Jeongin tertawa kecil, pandangan matanya mengedar sebentar sebelum mendarat menemukan kedua bola mata Minho yang ternyata sudah memandanginya dari tadi, "Ndak ada, kok. Yuk keluar." Jawabnya setelah menggunting tatapan tersebut.

"Ke kantin, yuk? Laper banget aku." Ujar Yuna kemudian, keduanya sudah berdiri untuk siap melangkah pergi meninggalkan ruang kelas. "Eh tapi aku nggak bawa duit...."

"Kebiasaan." Ujar Jeongin sembari mencubit pipi sang sahabat, "Ya wis tak bayarin."

Belum sempat Yuna mengucapkan rasa terimakasihnya, suara Minho terdengar mengintrupsi, "Jeongin, bisa stay di kelas sebentar? Ada yang perlu saya bicarakan."

Pemuda itu melirik Yuna sesaat sebelum mengangguk mengiyakan. Ia menggigit bibir, membiarkan pikiran liarnya mulai merasuk memenuhi kepala. "Siap, pak." Jawab pemuda itu malu-malu, sebelum beralih memandang Yuna meminta ia menunggu di kantin saja.

Mahasiswa lain dalam kelas tersebut sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan apa yang terjadi, sebab dalam beberapa menit setelah kelas di bubarkan, kelas langsung kosong tanpa diperintahkan.

"Mas Minho butuh Jeongin?"

Selepas kepergian kawan-kawannya, Jeongin segera melangkah menghampiri sang kakak yang masih duduk tenang di bangkunya. Minho melengok, ekspresi wajahnya datar tidak terbaca. Melihat sang adik mendekat, ia-pun ikut berdiri.

"Mas kangen, ya?" Kerlingnya menggoda. Jemarinya yang lentik menyentuh pipi Minho dengan lembut, kemudian berjinjit sedikit berusaha mencium bibirnya.

"Cukup, Jeongin. Malu."

Jeongin mengerjap, pergerakannya terhenti diudara. Anak itu kemudian bersindekap dengan wajah cemberut, "Gitu amat sih, mas. Masa cium ndak boleh." Orang biasanya Minho selalu nyosor-nyosor gitu, kok. Batinya kesal.

"Ya kamu lihat-lihat dulu kalau mau ngelakuin sesuatu."

Jeongin mulai merajuk, kedua tangannya terlipat di depan tubuhnya, "Emangnya kenapa, to? Kita kan udah biasa begitu."

Melihat adiknya sama sekali tidak bisa diajak kompromi, Minho mau tidak mau mulai terpancing emosi. Menjadi buah bibir seisi warga kampus adalah hal yang sangat di hindarinya, namun Jeongin terlihat sama sekali tidak peduli akan hal itu.

"Bahaya kalau ada yang lihat, kalau kamu cewek ndak apa-apa. Mas ndak mau ya ada yang ngira kalau mas homo gara-gara gelagat kamu yang seperti ini."

Jeongin ternganga kemudian. Ucapan Minho barusan seolah menohoknya tepat di relung dada. Maksudnya apa?

"Maksud mas apa?"

Road Not TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang