Thirty

4.2K 407 59
                                    

"O-oee oeee."

Jeongin buru-buru melepaskan ciumannya dengan Minho saat sang buah hati terbangun dari tidurnya dan menangis. Minho dengan sigap mengangkat balita menggemaskan berusia sembilan bulan itu dan menggendongnya dengan sayang. Menggoyang-goyangkannya pelan sembari ditepuk-tepuk pantat kecilnya.

"Biar aku aja mas yang gendong Jinho, mas kan baru pulang kerja."

Jeongin hendak mengambil alih Jinho dari gendongan Minho, tapi Minho menggeleng dan menjauhkan Jinho dari Jeongin.

"Sebentar lagi Hyunjin pulang, kamu masak buat makan malem saja. Jinho anteng kok sama mas," ucap Minho sambil melirik Jinho yang kembali terlelap dalam gendongannya.

"Yaudah, aku masak ya Mas. Titip Jinho," Jeongin mengecup bibir Minho sebelum keluar dari kamar mereka. Hyunjin, Minho, Jeongin dan Jinho tinggal dalam satu kamar yang sama. Dengan Jinho yang memiliki ranjang tidur sendiri.

Sementara Minho sibuk dengan Jinho yang selalu membuka mata tiap kali hendak diletakkan di ranjang, Jeongin sibuk membuat sajian untuk kedua suami dan dirinya sendiri di dapur.

Iya, sudah lama sejak kejadian itu berlalu. Kini Minho, Hyunjin, dan Jeongin menetap di Las Vegas dengan seorang bayi mungil buah hati Jeongin dengan Yuna. Mereka telah resmi menjadi sepasang suami, Minho yang menikahi Jeongin lebih dulu dengan berjeda satu hari saja dengan pernikahan Hyunjin dan Jeongin.

Sanak saudara mereka tidak peduli, setelah Sana meninggal mereka jadi hidup bertiga saja. Kakek dan nenek mereka di Jepang tidak hentinya mengutuk mereka atas kematian Sana. Jeongin memutuskan berhenti kuliah dan ikut saran kedua masnya untuk kabur ke luar negeri dan menyerahkan segala urusan butik ke pekerja terpercaya Sana.

Awalnya mereka pikir mereka hanya akan menerima gunjingan dari sang nenek, nyatanya tidak.

Yuna enggan merawat buah hatinya dengan Jeongin, ia meminta Jeongin tetap tinggal di Surabaya sampai ia melahirkan untuk kemudian menyuruh Jeongin membawa bayi itu bersamanya. Dan selama masa inilah cobaan terberat Jeongin hadapi.

"Jeongin, aku mau ngomong serius sama kamu. Aku tunggu di rumahku."

Begitulah ucapan singkat Yuna saat bicara dengan Jeongin di telepon. Dengan segera setelah menutup telepon, Jeongin mengendarai motornya menuju kediaman temannya itu. Rumah Yuna cukup jauh dari rumahnya, mengingat dulu gadis itu tinggal di kosan yang dekat kampus dan kini ia mengajak bertemu di rumahnya yang berjarak tempuh dua jam dengan motor.

Hari sudah sore saat Jeongin tiba, Yuna sedang duduk di kursi yang ada di teras rumahnya. Tampak tidak terlalu peduli dengan hadirnya Jeongin di sana.

"Hai, Na. gimana kabar?" tanya Jeongin sopan, ia mendudukkan dirinya di kursi sebelah Yuna yang dibatasi meja bulat.

"Aku ndak mau urus anak ini!"

Bukannya menjawab, Yuna justru berujar ketus. Mengelus perut buncitnya yang kian membesar sembari melanjutkan pembicaraan, "Bukannya aku ndak sayang. Bagaimanapun dia anakku. Aku cuma takut ndak bisa jadi ibu yang baik dan... aku belum siap jika nantinya dia dicemooh anak haram." Suaranya melembut, roma mukanya nampak sedih jadi Jeongin berinisiatif meraih sebelah tangan Yuna yang ada di atas meja dan mengelusnya dengan ibu jari.

"Aku minta maaf .. aku sungguh.."

Jeongin menangis, ia sungguh berdosa pada gadis di hadapanya ini. Menghancurkan masa depannya dan melarikan diri.

"Maafkan aku.. aku akan membawanya pergi, kamu rawat dia dalam kandunganmu dengan baik ya?"

Yuna membawa tangan Jeongin untuk ikut mengelus perutnya, andai saja Jeongin tidak homo. Mereka pasti akan menikah sekarang, meski Yuna cintanya dengan Minho ia rasa dengan Jeongin ia bisa cepat belajar mencintai. "Pasti, tolong jaga dia nanti ya."

Road Not TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang