Six

4K 647 40
                                    

Sepeninggalnya Jeongin dari ruang tamu, suasana diantara Hyunjin dan Minho mendadak tidak enak. Hyunjin menatap Minho tajam, yang ditatap balik tatap menantang tidak kalah tajamnya. Mungkin jika dalam komik atau film animasi akan ada kilatan petir diantara tatapan keduanya.

"Kenapa lihatin Mas kayak gitu? Enggak suka cewekmu Mas usir kayak tadi?"

"Jangan bilang Mas Minho jadi homo juga kayak si banci." kerah kemeja Minho Hyunjin tarik dan cengkram hingga kusut.

"Sembarangan asu. Yo ndak, tolol. Aku baik sama dia karena aku anak tertua dan aku sayang mamah. Nggak tega aku lihat mamah nangis terus karena ulahku dan kamu. Kamu ndak mikir apa? Mamah capek kerja seharian dan setiap pulang selalu nangis karena keadaan anak bungsunya yang kita jahatin." kerah baju Minho dilepas. Tapi tatapan Hyunjin masih belum berkurang tajamnya.

"Mas ngancem Jeongin suruh jauhin Jae bukan karena Mas cemburu kan?"

"Goblok! Yo ndak, kamu mikirnya gitu toh? Mas cuma ndak mau orang-orang tau orientasi sexual Jeongin yang menyimpang dan bikin mamah harus nanggung malu lagi. Astaga, kamu itu huft─"

Minho berbalik, sebelum ia melangkahkan kakinya menuju kamar ia berucap, "Bukannya kamu yang mulai jadi homo? Kamu pikir mas ndak lihat kamu ciuman sama Jeongin di dapur."

"Anjing!"

Minho mengabaikan umpatan Hyunjin, memilih lanjutkan langkahnya menuju kamar. Lelaki dua puluh enam tahun itu memesan tiga porsi sup ayam serta beberapa kaleng bir sebelum masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Pekerjaan yang berat membuat Minho berpikir untuk menghilangkan penat dengan bir beralkohol tinggi. Lagipula besok ia libur mengajar dan tidak ada kegiatan di luar kampus dan ia yakin mamahnya tidak akan pulang larut malam, jadi ia bisa tidur lebih cepat malam ini.

"Mas M-minho, ini makanan pesanan Mas sudah sampai. Sup porsinya Mas Hyunjin sudah dia ambil duluan, ini Jeongin antarkan buat Mas."

Pintu kamar Minho terbuka, susah payah Jeongin telah ludahnya saat Minho hanya pakai celana training panjang tanpa atasan, tangannya sibuk keringkan rambut yang masih basah. Kulit Minho putih gading dengan bisep terbentuk sempurna dan kotak-kotak samar yang terlihat tercetak halus pada perutnya.

"Mas mau makan di kamar, Jeongin mau makan sendiri atau bareng sama Mas?" tanya Minho setelah meletakkan handuk dipundaknya.

"Bareng Mas Minho aja ndak papa serius? J-Jeongin ndak suka makan sendiri, sepi. Mamah juga belum pulang."

"Ayo masuk,"

Jeongin menutup pintu kamar sementara Minho ambil kaus tidur untuk ia kenakan. Jeongin siapkan makanan dan menatanya di atas meja yang ada di kamar Minho.

"Mas Minho beli banyak bir? Mau di minum semua?"

"Iyo, kalau ndak kuat ya sisanya disimpan di kulkas."

Minho hampiri Jeongin dan duduk di sebelah lelaki manis itu. Di kamar Minho memang ada meja serta sofa minimalis yang biasa ia gunakan untuk menyelesaikan kerjaannya.

"Kenapa nggak makan?" tanya Minho saat sadar Jeongin hanya mendiamkan makanannya yang sudah terbuka di atas meja.

"Nunggu Mas Minho, kan mau makan bareng."

Minho terkekeh, "Yowes, ayo di makan."

Mereka makan dalam diam, untung Jeongin sempat bawa air mineral jadi mereka berbagi air mineral yang Jeongin bawa saat keduanya butuh minum.

"Mas, maaf." Makanan sudah habis, tetapi mereka masih betah duduk di sofa tersebut. Minho menenggak birnya kemudian menoleh pada Jeongin. Alisnya naik sebelah, tanda ia bingung.

Road Not TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang