Sixteen

4.9K 481 33
                                    


"Kalau gitu mamah berangkat ya,"

Sana mengecup pipi Jeongin, meski Jeongin sudah dewasa Sana masih sering memberi kecupan ringan sebelum ia berangkat kerja.

"Minho, Mamah titip Jeongin. Jagain dia, jangan dibikin nangis. Kalau Hyunjin macam-macam lagi laporin ke mamah. Ngerti?"

"Ngerti kapten!"

Minho memberi pose hormat, Sana tersenyum lega. Setidaknya anak sulungnya bisa dipercaya. Setelahnya wanita cantik itu masuk ke dalam mobil dan ke luar dari area rumah.

Tidak sepenuhnya lega, ada gelisah yang melingkupi dada, Sana terlalu khawatir sesungguhnya jika Jeongin akan diperlakukan kasar lagi. Ibu tiga anak itu membanting stir mobilnya bukan menuju butik, tapi ke toko perlengkapan cctv.

Sepeninggalnya Sana, sisalah Minho dan Jeongin di rumah. Hanya berdua, Hyunjin ada jadwal konsultasi dengan dosen pembimbingnya. Sementara Minho baru ada jadwal mengajar pukul satu siang dan Jeongin sedang tidak ada kelas.

"Mas marah lho sama kamu, Dek," ucap Minho sembari memunguti sampah camilan yang ada di ruang keluarga.

"Sama Hyunjin juga marah." sambungnya.

Jeongin hanya mendengarkan, sudah mengerti ke mana Minho akan membawa pembicaraan mereka.

"Yang salah Hyunjin, yang buat kamu nangis Hyunjin, yang kamu cumbu duluan juga Hyunjin, dan parahnya Mas ndak salah apa-apa ikut kena dan harus jaga jarak sama kamu beberapa hari kemarin."

Sampah di tanganya sudah penuh, Jeongin mengambil trashbag dan membantu Minho memasukan seluruh sampah ke dalamnya.

"Kamu lebih sayang Hyunjin ya ketimbang sama Mas?"

Selesai membungkus sampah, Minho langsung jalan ke luar untuk buang kantung sampah itu ke tempat sampah besar agar di angkut petugas kebersihan. Tidak sadar kalau Jeongin sudah cemberut mendengar penuturannya.

"Cuci tanganmu, Jeongin. Mas mau ke kamar, nanti jam sebelas Mas berangkat ke kampus."

Dari awal, Minho jelas hanya bercanda, mana bisa ia marah pada adik gemasnya itu. Hatinya puas melihat ekspresi cemberut Jeongin, menggemaskannya menjadi berlipat ganda.

"Mas Minho jangan marah," ucap Jeongin sembari memainkan jari jemarinya. "Mumpung mamah sama Mas Hyunjin ndak ada, masa akunya mau dikacangin? Mas Minho yakin?"

Bangsat

Jeongin itu memang penggoda ulung yang andal tapi Minho tidak semudah itu untuk tergoda.

Lelaki yang jauh lebih tua dari Jeongin itu menaiki anak tangga dan mengabaikan Jeongin yang merengek di belakangnya.

"Mas Minho ih!" kakinya terhentak lucu di lantai, Minho enggan menghampiri, ia melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Langkah besar dan cepat Jeongin ambil agar posisinya sejajar dengan Minho, tepat sebelum Minho membuka pintu kamar, Jeongin berhasil menghentikan Mas-nya itu.

"Mas Minho jangan marah sama Jeongin," dipeluk perut Masnya itu dengan erat, wajahnya mendusel manja dipunggung lebar sang kakak.

"Mas Hyunjin yang maksa,"

Minho melepaskan pelukan Jeongin, berbalik dan mendorong adiknya itu hingga menabrak dinding. Kedua lengannya mengunci pergerakan sang adik. Mengurung dikedua sisi kepala.

"Aku cemburulah iri juga, enak banget Hyunjin. Bikin kamu nangis tapi enakin kamu duluan," ucapnya menggebu tepat di depan wajah Jeongin.

Bukannya takut, Jeongin justru mengecup bibir Minho.

Road Not TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang