Twenty Nine

4.2K 547 162
                                    

2 Bulan Kemudian.

Musim belum berganti.

Rinai hujan masih sering mengguyur kota Surabaya. Mengantar riak-riak basah dalam kubangan-kubangan kecil disekitar area pemakaman umum yang sepi sore itu.

"Sayang, sudah siang... Ayo berangkat?"

Minho mencoba menegur Jeongin dengan hati-hati. Sudah satu jam setelah pemuda tersebut meminta ditinggal sendiri disini, Minho tidak tahan lagi melihat yang tersayang menggantung awan kelabu diatas kepalanya sejak kedatangan mereka kemari.

Jeongin yang murung menoleh, "Jam berapa, mas?"

"Jam sebelas, sayang ..."

"Oh ..."

Sudah se-siang itu rupanya?

Tanpa ada absen ditiap hari, Jeongin selalu menyempatkan dirinya mengunjungi makam sang Mamah tiap pagi. Mas Hyunjin dan Mas Minho-nya juga selalu datang menemani walau dalam keadaan sesibuk apapun. Namun setelah sampai disana, Jeongin biasanya minta waktu tambahan untuk ditinggalkan sendirian saja sebentar.

Melepas rindu, menceritakan apa saja isi kepalanya, sebagai harapan bahwa di alam sana, Mamah tidak kesepian ...

"Sayang ..." Tegur Minho sekali lagi.

Jeongin mengangguk, pemuda itu lantas bangkit dari tempat ia duduk dan beranjak menghampiri Minho.

Tersenyum pura-pura ceria, ia berkata, "Yuk, mas. Nanti telat."

Yang lebih tua ikut tersenyum lemah menyambut tangan si bungsu. Keduanya memandang nisan kuburan sang Ibu yang berada persis disamping milik suaminya untuk terakhir kali sebelum berjalan pergi. Dalam hati sama-sama berpamitan dan berjanji datang lagi besok pagi. Lalu, dengan langkah mantab mereka meninggalkan lokasi menuju Hyunjin yang sudah menunggu di dalam mobil.

Rasanya tidak perlu dijelaskan dengan detail bagaimama Sana bisa berakhir meninggal dan meninggalkan ketiga puteranya tanpa surat maupun wasiat. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya dua bulan yang lalu, beliau hanya sempat meminta Minho dan Hyunjin menandatangani surat persetujuan pendonoran ginjal dan hatinya untuk si bungsu yang sedang sekarat.

Tatapan Sana menerawang menembus plafon rumah sakit, tubuhnya sudah sangat lemah dengan perban dimana-mana. Sinar penyesalan dan duka mendalam mematul dibalik manik coklatnya, "Mamah pingin ketemu Papah kalian ..."

"Mah, jangan ngomong gitu!" Hyunjin mencoba untuk tidak histeris, namun ia tak kuasa. Bagaimana mungkin ia rela melihat kedua orang yang dicintainya terbaring naas dirumah sakit dalam waktu yang sama? ia tidak ingin kehilangan mereka berdua.

"Adik kalian ... Mamah harus menyelamatkan adik kalian ... Mamah sudah banyak berdosa sama dia, Mamah sudah buat adik kalian menderita ..."

Minho yang sedari tadi bungkam karena merasa tertekan akhirnya bersuara, "Jeongin akan sembuh, Mah. Kita tinggal tunggu donornya. Mamah juga harus berjuang, ya?"

Ibu dari tiga anak itu menggeleng lemah, "Jeongin ndak bisa bertahan lebih lama lagi, mas ... Mamah mohon, tanda tangani surat itu. Ikhlaskan Mamah. Buat dedek hidup sehat lagi, Mamah mau dedek bahagia lagi ... Dengan begitu Mamah akan terus hidup dalam diri adik kalian ..."

"Mah kita ndak bisa.

"Ini antara hidup Mamah atau hidup Jeongin, nak." Tandas Sana dengan berlinangan air mata, "Apa kalian pikir Mamah akan bahagia tetap hidup dan melihat anak Mamah koma tanpa kepastian hidup begitu?"

Hyunjin dan Minho terbubgkam, tidak mampu bersuara lagi.

"Hyunjin, Minho ... Tolong ya, nak? Sekali saja kalian nurut sama Mamah. Tolong turuti kemauan Mamah."

Road Not TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang