Twenty Seven

4.2K 564 359
                                    

Saat Jeongin datang kepada Yuna, dan berkata bahwa ia akan membawanya menemui Sana untuk bertanggung jawab ... tentu saja gadis itu merasa sangat bahagia. Biarlah, kalau memang nanti akhirnya pernikahan mereka terjalin paksa tanpa cinta, yang penting jabang bayi diperutnya memiliki Ayah dan tidak akan jadi gunjingan warga.

Yuna sudah lelah menangis, meminta, bahkan menghamba kepada Jeongin agar pemuda itu mau menanggung beban ini bersama-sama, sampai akhirnya Tuhan bermurah hati menjawab seluruh do'a yang ia panjatkan seperti sekarang. Sungguh, Yuna tidak menginginkan hal apapun selain bayi diperutnya terlahir selamat dan mendapat masa depan cerah tanpa embel-embel "anak haram."

Sebodoh apapun dia, Yuna masih punya akal untuk menyadari bahwa anak dalam kandungannya itu tidak bersalah, yang salah adalah kedua orang tuanya.

Disisi lain, adis itu juga optimis bahwa Sana akan menerima kenyataan ini karena toh, dari awal wanita itu sudah kekeuh sekali mejodoh-jodohkan Jeongin dengan dirinya.

"Udah siap?" Tanya Jeongin dingin.

Yuna yang masih sibuk mengepak beberapa barang kedalam tas jinjingnya menjawab, "Sudah. Kita naik apa kesana?"

"Taksi online aja. Atau kamu mau naik motorku?"

Yang ditanya menggeleng, dia tahu betul bagaimana serampangannya Jeongin saat berkendara. Ia tidak mau ambil resiko, "Taksi online kalau gitu. Udah pesan?"

"Udah."

Yuna-pun tersenyum lemah. Pandangan matanya beralih menatap Jeongin lewat pantulan kaca, menyaksikan bagaimana pemuda itu terlihat sangat kacau dan berantakan. Alkohol yang selama ini ia konsumsi, beserta rokok dan kebiasaan tidur malamnya yang parah, tentu saja akan membuat tubuhnya terlihat seperti tengkorak hidup begitu. Bersyukur dia nggak gelap mata sampai terjerumus narkoba.

"Kenapa liatinnya gitu amat sih? berangkat ndak?"

"Eh, i-iya ..."

Padahal dahulu temannya itu adalah pemuda paling supel dan periang yang pernah Yuna kenal. Dia selalu ramah dan semua orang mencintainya. Tapi sekarang Jeongin malah ...

Yuna mendesah lelah, sekalipun tidak pernah ia bayangkan, bagaimana kepergian Minho dan Hyunjin bisa memberi efek sebesar ini.

Rumah keluarga Sana yang dulunya ramai dan hidup, kini terasa sepi. Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali Yuna menginjakan kaki ke tempat ini. Mungkin dua atau tiga bulan yang lalu? Dia sendiri juga tidak ingat.

Lantas saat kedua muda-mudi itu melangkah memasuki pintu utama, Sana yang kebetulan menonton tivi di ruang tengah segera menghambur memeluk Yuna,

"Makin makmur aja kamu, Na? Gendutan gini, lagi doyan makan, ya?

Yuna tertawa canggung, namun belum sempat menjawab sebab suara Jeongin segera menyahut, suaranya monoton,

"Yuna hamil, Mah."

Sana terpaku, lalu tertawa-tawa setelah itu, "Ada-ada aja kamu, dek!" Jawabnya sambil menarik tangan Yuna untuk duduk disofa ruangan tersebut,

"Duduk dulu, Na. Mau minum apa? Es sir—

"Yuna hamil, Mamah! Mamah denger ndak sih?!"

Sana yang masih menganggap anaknya itu labil karena kebanyakan minum mendengus pelan, "Dek, kamu kenapa jadi ngelantur gini sih? Yuna baru dateng bukannya diambilin minum malah ngomong yang aneh-aneh."

Yuna melirik sahabatnya yang terlihat seperti bisa  meledak kapan saja. Jadi sebelum perdebatan ibu dan anak itu makin panjang, ia segera mengklarifikasi kebenaran, "Tante, Yuna beneran hamil."

Road Not TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang