LPY 14

4.7K 458 55
                                    

Sungmin masih betah mematung, hanya bergeser beberapa centi dari pijakannya semula saat tubuh Jin dengan sengaja sedikit mendorong tubuhnya ke samping karena menghalangi jalan.

Perasaannya seakan melakukan turbulensi, bergerak memutar dengan arah yang teratur, antara kembali atau berjalan lurus. Dengan pintu yang sekilas menampakkan dengan jelas rupa sang anak yang terpejam dengan damai semakin membuat hatinya berkecamuk.

Sentuhan terasa di bahunya, ia mendongak dan mendapati wajah kakaknya yang memandangnya dengan sedikit senyum getir.

"Temui dia, Yoongi membutuhkanmu, sangat." Sungmin kembali memalingkan wajah, lagi-lagi pintu dengan kaca kecil itulah sasarannya.

"Tidak, Hyung, maaf aku harus pergi." Langkah teratur ia ayunkan menjauh dari sana, Hanbin tak lagi dapat berkata, adiknya keras kepala, warisan dari ayahnya.













"Jimin, Namjoon, kalian pulang saja biar aku dan Hoseok yang menjaganya," lirih Jin seraya mengalihkan pandangannya pada kedua adiknya dari satu-satunya yang terbaring di sana.

"Tapi Hyung, aku ingin melihat baby bangun," jawab Jimin sekenanya, berbeda dengan Namjoon yang langsung mengangguk tanpa sanggahan. Bukannya ia tak peduli pada Yoongi, hanya saja Namjoon itu lebih berfikiran dewasa. Ia tahu Jin menyuruhnya dan Jimin pulang karena ia dan Jimin ada kelas pagi, berbeda dengan Jin dan Hoseok yang memulai kelasnya di siang hari.

"Besok sepulang dari kampus kau bisa kemari, Jim. Hyung tak mau jika pelajaranmu terganggu, nanti kau akan lelah dan mengantuk jika menunggu Yoongi bangun dan lagi, kita tak pernah tahu kapan ia bangun." Satu lelehan bening itu merembes turun dari ekor mata Jin, ia tak pernah menyangka jika pemandangan dua belas tahun lalu akan terulang kembali, menyaksikan adik kecilnya terbaring dengan penopang kehidupannya.

Jimin menurut setelah berperang batin, ia pasrah saja saat tangan besar Namjoon merangkul pundak dan menariknya halus.








.
.
.













Botol-botol wiskey itu berserakan di atas meja, beberapa tumpah mengotori karpet bulu import yang terbentang di bawahnya. Putung rokok di mana-mana dan racauan-racauan tak jelas menggema di seluruh sudut ruangan.

"AAARRHGGGHHH ...."

Pyaarrrrr

Prankkk

Pecahan beling mulai menghias lantai marmer dengan corak monokrom itu, si pelaku pelemparan mengeram marah. Marah akan apa yang sedang mengaduk-aduk hatinya, tak sadar jika dirinyalah yang bersalah. Sebab dari akibat yang ia benci adalah dirinya sendiri.

"DADDY ... APA YANG DADDY LAKUKAN?!" Taehyung dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. Setengah jam yang lalu seorang maid dari kediaman Sungmin menghubunginya, mengatakan jika sang majikan tengah mengamuk dan mabuk-mabukan.

"Tae? Taehyung, anakku?" Dengan mata yang hampir terpejam, Sungmin meraba, menangkup kedua pipi Taehyung. Taehyung meringis, ini sakit tapi tak lebih sakit dari hatinya yang menyaksikan ayahnya kacau seperti ini.

"I-iya Dad, ini Taehyung, anak Daddy," jawabnya dengan mulai meluncurkan isakan-isakan kecil.

"Lalu Yoongi? Dia, d-dia anakku juga? Apa dia adikmu, Tae,?" Taehyung sukses membisu, entah apa yang dirasakan ayahnya hingga menjadi seperti ini.

"Apa Daddy masih pantas menjadi Daddynya? jawab Tae, apa Daddy masih pantas, HAH?!"

Sesuatu menghujam relung hati Taehyung, ayahnya mencengkeram erat kerah bajunya namun segera ia tepis jauh rasa sakitnya, yang ia tahu sekarang ayahnya sedang tak baik-baik saja, ia perlu ditenangkan.

[ END ] Little precious YoongiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang