Prolog

9.8K 801 205
                                    

Tanggal 1 Juli tahun 2009, Lee Taeyong tidak mendapat hadiah istimewa di hari ulang tahunnya yang ke-14.

Perayaan ulang tahun identik dengan suasana yang meriah; balon berwarna-warni, sorak-sorai tamu yang datang, dan kue manis disertai lilin berbentuk angka. Tapi dunia ini kejam一Taeyong sudah lama mengetahuinya. Tidak semua anak beruntung mendapatkan hal-hal seperti itu.

Lupakan soal perayaan, Ibunya saja tidak pulang, sibuk mencari pria yang cukup bodoh untuk dia rayu. Kadang-kadang, Taeyong pikir wanita itu lupa punya 2 anak yang harus di urus. Karena nyaris tiap hari, ia dan Irene一kakaknya一harus bersusah payah sendiri mencari makanan. Dasar orang tua egois. Apa menurutnya udara saja cukup mengenyangkan? Tidak, tolol.

Tapi sejujurnya, Taeyong tak mengharapkan apa-apa lagi dari sang Ibu.

Ia sadar dirinya mesti belajar dewasa, tidak boleh mengandalkan orang lain. Karena berharap pada manusia adalah induk dari kekecewaan. Suka tidak suka ya terima. Atau rubahlah keadaan kalau bisa.

Masalahnya, sulit merencanakan perubahan jika perutmu menjerit minta makan. Taeyong lapar. Seharian ini ia tidak menyantap apapun selain snack yang dengan baik hati diberi oleh temannya. Semua makanan, bahkan sampai remah-remah biskuit yang terakhir telah habis. Bahkan tikus dan semut takkan betah tinggal di sini.

Beruntung, Irene ternyata punya kejutan untuknya. Bagai ibu peri yang muncul kala Cinderella kesulitan, dia membawa keajaiban berwujud mie dengan kaldu ikan anchovy; kalguksu一begitu orang Korea menyebutnya. Atau dalam kamus hidup Taeyong : makanan mewah, sebab ia jarang mendapatkannya sejak Ayahnya meninggal.

Atau malah tidak pernah? Taeyong lupa.

Belakangan, saat ia menoleh ke masa lalu, kenangan yang muncul hanyalah Ibunya, pergi bersama laki-laki asing yang seringnya cuma bertahan seminggu一beberapa kurang dari itu. Meninggalkan ia dan Irene, hingga keduanya terbiasa. Terpaksa terbiasa.

"Nih," kata Irene, menyodorkan mangkuk berisi kalguksu yang baunya saja sangat menggoda. "Kado ulang tahunmu."

Taeyong tak langsung berterima kasih, ia mencibir, meletakkan jari-jarinya di sekeliling mangkuk. Merasakan kehangatan merayap ke tubuhnya yang terbalut kaus tipis di tengah malam gerimis. "Dapet darimana?"

Kakak yang 4 tahun lebih tua dari Taeyong itu tersenyum. Manis sekali一jenis senyum yang sanggup membuat pria manapun berhenti berjalan bila melihatnya. Irene cantik一semua orang tahu itu, dan ia kadang menggunakan kecantikannya untuk menipu. Tapi Taeyong adalah Taeyong; ia tidak mudah di bohongi. "Nemu tadi di jalan. Kayaknya punya orang yang buru-buru. Kan banyak yang teledor sekarang."

Mengambil uang Ibu, pasti itu maksudnya. Dan itu juga berarti mereka akan dihukum nanti. Sayang, Taeyong tak cukup peduli kali ini. Tidak ketika ia duduk bersama makanan favoritnya. Jadi responnya hanya "oh" singkat, enggan ambil pusing. Ia duduk tenang menyuapkan sesendok demi sesendok kalguksu ditemani Irene dan TV yang menyala.

Hujan menampar jendela dan atap. Semakin deras, disertai angin ganas. Sebagian merembes dari retakan di langit-langit, untuk selanjutnya mendarat dalam ember yang di sediakan Irene.

Tes, tes, tes.

Taeyong mengamati air yang jatuh itu sambil setengah melamun. Hingga suara pembawa berita mengalihkan perhatiannya.

"... Berita selanjutnya, pemirsa, masih berkaitan dengan pembunuhan di Joongyi-dong, dimana seorang remaja 15 tahun menusuk adiknya berkali-kali saat tidur. Polisi telah menemukan senjata yang dipakai oleh pelaku, serta mengungkap bahwa motifnya adalah rasa iri antar saudara. "A" mengaku kesal sebab orang tuanya sering membandingkan ia dan korban. Ia mengira, jika adiknya tidak ada, maka Ibu dan Ayahnya akan menyayanginya. Seorang psikiater telah ditunjuk untuk mengetahui apakah一"

Determination ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang