Hari kedua persidangan.
Hari ini, salju turun lebih deras dari kemarin, seolah ada sungai di langit dan sungai itu tengah meluap sekarang. Butiran-butiran seputih kristal tumpah ruah tak terkendali. Dewi badai sedang melolong mengeluarkan pekikan angin ribut yang membuat pembawa berita acara ramalan cuaca memperingatkan semua warga agar lebih berhati-hati. Matahari kalah bersaing, sinarnya ditutupi awan gelap yang seakan menjadi pertanda akan hari yang berat.
Barangkali, cuaca buruk inilah yang menjadi alasan keterlambatan teman Jisung.
Irene mondar-mandir di depan patung sang Dewi Keadilan, melakukan kebiasaan lama bila gugup melanda yang ingin ia hentikan; menggigiti kuku.
Tidak semua saksinya akan dipanggil hari ini, tapi teman Jisung adalah salah satunya. Masalah muncul saat kurang dari 10 menit sebelum sidang dilaksanakan, orang yang ia tunggu-tunggu belum juga tiba dan Jisung tak bisa menghubunginya.
"Belum diangkat?"
Jisung menggeleng. "Mungkin dia lagi main di laut."
"Tapi rumah temen kamu kan nggak deket sama laut?"
Jisung hanya tersenyum.
Di Korea, ada sebuah pepatah bahwa "orang tua takkan bisa menang dari anaknya" dan teman Jisung membuktikan itu. Sebenarnya, Irene tidak mau mengundang saksi di bawah umur, karena ia pikir persidangan terlalu rumit bagi mereka, namun begitu mendengar apa yang terjadi pada Jisung, temannya mengajukan diri untuk berbuat lebih dari sebatas menulis surat pernyataan; dia ingin hadir secara langsung.
Orang tuanya yang berpikiran sama dengan Irene menolak idenya, tapi si bocah cerewet itu terus membujuk mereka sampai akhirnya memberikan restu.
Pertanyaannya, di mana bocah itu sekarang?
8 menit lagi. Jisung yang menyadari betapa gelisahnya Irene berusaha mengajaknya bercanda. "Nanti kalau dia dateng, jangan deket-deket sama dia." Jisung menunjuk telinganya. "Biar ini nggak rusak."
"Kenapa?"
"Dia kalau ngomong kayak orang mau ngajak berantem soalnya."
Sesaat, Irene terkikik bersamanya. Meski hanya bertemu sekali, dia ingat teman Jisung memang bicara dengan intonasi yang lantang.
Tak lama, sebuah Bentley biru mengkilap berwarna mirip air laut berhenti tidak jauh dari mereka. Penumpangnya membuka pintu, mengeluarkan satu kaki terbungkus sepatu yang kelihatannya mahal dan baru, disusul kaki lainnya. Celananya senada dengan warna mobilnya, bersanding dengan kaus Stephen Curry bernomor 30. Sebuah headband melingkar di kepalanya, hitam-putih seperti warna pakaian yang sering Winwin kenakan. Sekilas lihat, dia terkesan seperti melangkah begitu saja dari lapangan basket.
"Kak pengacara!" Penumpang itu melambai ceria pada mereka. "Tadi aku nyasar!" Lalu serangkaian tawa keras yang membuat orang-orang di sekitar menoleh padanya keluar dari bibirnya, amat mirip dengan一tidak bercanda!一mamalia laut yang sangat cerdas.
"Waduh." Irene berpandangan dengan Jisung, kaget. "Suara ketawanya lucu."
"Mirip lumba-lumba." Jisung menghela napas. "Aku mau beli minum dulu biar dia nggak kekurangan air."
Namun Irene lebih tahu; Jisung tidak haus atau sekedar ingin bersikap ramah. Tampaknya setelah menceritakan rahasia yang ia punya, dia jadi sedikit malu pada temannya一sebuah pola pikir yang keliru bagi korban.
"Chenle." Irene menyapanya dengan cara yang sama yang digunakan Jisung : Chonlo. "Kakak kira nggak jadi dateng."
Chenle, yang merupakan orang China dan diklaim Jisung lebih tua darinya tapi lebih pendek, nyengir lebar. "Nggak mungkin. Itu si Jisung Park mau ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Determination ✔️
Fanfic[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena pekerjaan, Lee Taeyong tidak mengharapkan apapun selain hidup tenang dan damai. Namun sejak bertemu Park Jisung, remaja yang punya keluarga...