Hari ketiga persidangan.
Hari itu termasuk hari yang tidak biasa.
Sebagai orang yang mencintai kebersihan sebanyak Joy mencintai kue red velvet, kondisi kediaman Irene tidak seperti biasanya. Ini hari yang penting, hari terakhir persidangan, tapi kurang dari 2 jam sidang itu di mulai, dia masih berkutat di dapur dan memasak seperti orang kalap.
Joy meledek dapurnya seperti dapur kapal Titanic menjelang tenggelam, atau dapur yang kejatuhan granat, sebab peralatan masak berserakan dimana-mana, dan mejanya dipenuhi makanan yang mampu mengenyangkan pelanggan salon ibunya di hari minggu yang ramai beserta seluruh rekan kerjanya di Damjang.
Ini salah satu kebiasaan Irene bila sedang gusar. Dia tidak akan memamerkannya, justru mengerjakan berbagai kegiatan rumah tangga seolah rumahnya akan dijadikan lokasi jamuan makan presiden.
Joy terpaksa menghentikan Irene dengan memukul bokongnya menggunakan pantat teflon, lalu membentak, udah, cukup!
Yang selama 5 menit, tampaknya manjur sebelum Irene beralih menyetrika pakaian dan dengan begitu, nasehatnya pun sia-sia dan terbuang.
Joy berjumpa Jisung di meja makan, jauh lebih tenang daripada orang yang bertingkah mirip ibunya.
"Dia maksa kamu makan berapa piring?"
Jisung mengangkat 3 jarinya. "Ini yang ketiga."
Gadis Park itu menggeleng-geleng, melihat Ruby, anjing Taeyong, yang turut menjadi korban paksaan makan Irene. Perut Ruby menggembung seperti balon. "Lama-lama kamu jadi bantet kalau di sini terus. Mau dibantuin nggak?"
Dengan wajah lega, Jisung menyodorkan piring berisi kimbap yang bertumpuk-tumpuk belum tersentuh, setelah mengecek Irene tidak ada di sekitar situ. "Silahkan."
Keduanya sekarang mirip pengedar dan pembeli narkoba yang melakukan transaksi ilegal di balik punggung polisi. Joy duduk di kursi terdekat di samping Jisung, mengambil piringnya, dan hap! dalam satu suapan, berusaha mengunyahnya dengan cepat.
"Dia kalau grogi emang gitu," seru Joy menjelaskan, yang tidak terlalu jelas karena dilakukan sembari menelan. "Hobi bersih-bersih sama nyuruh orang makan."
Irene muncul lagi membawa tas kerjanya, tapi tidak menyadari Joy memakan isi piring Jisung. Dia hanya sadar bahwa piring itu kosong dan dengan sigap mengisinya lagi. "Kamu masih laper kan? Makan nih. Makan yang banyak."
Bahkan makanan yang enak tidak akan terlihat mengundang dalam kondisi perut yang telah penuh, jadi Jisung menyuarakan penolakan "Aku udah kenyang."
Terlambat. Irene terlanjur meletakkan kimbap baru di piringnya. "Makan, Jisung. Makan."
"Irene." Joy bergidik. Atau bergidik dan kembali merebut piring Jisung. "Kamu jangan bikin aku ngeri deh."
"Kenapa? Aku cuma nyuruh dia makan."
"Kamu mirip tokoh di fim horor," terang Joy. "Nyuruh tamu makan abis itu dibunuh buat di ambil dagingnya." Gadis itu meringis. "Bentar lagi kamu nggak bakal motong-motong Jisung kan?"
Irene memperdengarkan tawa yang sengaja ia buat melengking, sekilas menjadikannya cocok didapuk sebagai pemeran penyihir yang memanggang Hansel dan Gretel di sebuah oven. "Nggak dong! Tapi..." Tapi dia menatap Jisung seolah mengira-ngira berapa berat dagingnya.
Orang yang mereka maksud tertawa. "Kayaknya aku nggak muat dimasukin ke panci."
"Soalnya kamu terlalu tinggi." Irene memberengut, menarik mundur kursi lain dan menempatinya. "Denger, Jisung, nanti jangan gugup, ya? Nyantai aja waktu jawab pertanyaan Han."
KAMU SEDANG MEMBACA
Determination ✔️
Fiksi Penggemar[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena pekerjaan, Lee Taeyong tidak mengharapkan apapun selain hidup tenang dan damai. Namun sejak bertemu Park Jisung, remaja yang punya keluarga...