Lee Yena一itu namanya. Nama wanita itu. Nama ibunya.
Orang bilang, anak harus menghormati orang tua, sebab sampai kapanpun, kita takkan bisa membalas jasa mereka. Tanpa mereka, kita tidak ada. Berkat mereka, kita hidup.
Tapi karena Taeyong tidak ingat apakah ia pernah minta dilahirkan, sulit rasanya mensyukuri itu. Dibawa ke dunia ini, menjalani hari demi hari, berada di luar kendalinya. Seandainya punya kuasa atas semua hal yang terjadi, dapat mendesain ulang takdirnya, Taeyong pasti meminta diberikan ke keluarga lain.
Ia tidak punya masalah dengan Irene. Kakaknya menyebalkan tapi Taeyong tetap menyayanginya. Lain halnya dengan sang ibu; alasan rasa sayang itu sudah lama tidak ada.
Menghela napas berat, Taeyong melepas jaket. Benaknya ingin menyangkal kenyataan bahwa mereka punya hubungan darah, tapi gen yang mengikat keduanya tidak bisa berbohong; ketika tersenyum, garis rahang dan bentuk bibir ibunya sangat mirip dengannya, yang semakin membuat Taeyong enggan membalas senyumnya.
"Tahu dari mana aku pindah ke sini?"
Bahkan di telinganya sendiri, dia terdengar ketus dan menyebalkan, tapi ia tidak berniat meralatnya.
Yena, sama mungilnya dengan Irene一yang memberi mereka gen pendek一berbalik sejenak untuk mematikan kompor. Beberapa peralatan masak berceceran di wastafel dan sekitarnya, tapi ia tidak peduli. Taeyong sudah terbiasa; ibunya tak pernah membereskan kekacauan yang ia buat. "Kenapa sih tanya gitu, Nak? Kan wajar ada ibu yang ngunjungin anaknya."
"Nak", dia bilang? Menggunakan nada penuh sayang? Taeyong tidak dapat menyembunyikan wajah muak. Ibunya terlambat 10 tahun untuk menunjukkan itu. "Siapa yang ngasih tahu? Terus gimana caranya bisa masuk?"
Yena tertawa. Bila tujuannya adalah memancing amarah putranya, dia jelas sudah berhasil. Orang paling tidak peka pun pasti menyadari betapa Taeyong malas bicara, tapi Yena berpura-pura atau sudah terlalu sinting dan tidak mengerti. "Tetangga lama kamu. Ada untungnya punya muka mirip anak kan? Mereka percaya aja pas Mama ngaku orang tua kalian. Dan soal password, gampang." Dia menjentikkan jari. "Mama nggak lupa tanggal lahir kamu kok, Taeyongie."
Ya Tuhan, lempar saja Taeyong ke area 51 dan biarkan ia di makan para alien.
Menghadapi ibunya yang otaknya tersisa separuh benar-benar butuh tenaga ekstra, dan sialnya, Taeyong tidak memilikinya. Bekerja, berurusan dengan Winwin dan Jisung, sudah menguras habis hal itu. Dia capek. "Keluar. Jangan sembarangan masuk properti orang. Dendanya banyak."
"Kata siapa? Irene?" Ekspresi Yena berubah merengut, menyebut anak tertua sekaligus yang paling mirip dengannya. "Apa kabar dia sekarang? Mama udah ke kantornya tapi dia sok sibuk!"
Taeyong diam saja, tidak mau membuang-buang napasnya yang berharga. Hidup ini singkat, tapi ibunya malah membuat detik-detik hidupnya terbuang percuma. Kalau punya smartwatch seperti Winwin, Taeyong berani taruhan denyut nadinya sudah tidak karuan, persis seperti masa remajanya.
"Keluar." Ia mengulang, berkata melalui sela gigi yang terkatup geram. "Tahu arah pintunya kan?"
Pusing, Taeyong menyeret kakinya duduk di kursi, menyangga kepala dan memijatnya. Bagian tubuh yang satu itu berdenyut nyeri, berhadapan dengan orang yang ia benci.
Tapi Yena malah duduk di seberangnya, menyodorkan semangkuk kalguksu yang tidak lagi membuat perut Taeyong bergemuruh一setelah tahu siapa yang meraciknya. "Makan. Kamu pasti laper. Kenapa kamu masih kerja di hotel? Apa yang bikin kamu betah?"
Tatapan jijik ibunya bergerak menyusuri tubuhnya, berhenti lama di logo hotel yang terpampang di saku, dan mengernyit terang-terangan. "Hotel itu gajinya dikit. Mending kamu ikut Mama, kerja di tempat temen. Terus-terusan jadi room boy ntar kamu miskin kayak Ayah kamu. Emang ada cewek yang mau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Determination ✔️
Фанфик[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena pekerjaan, Lee Taeyong tidak mengharapkan apapun selain hidup tenang dan damai. Namun sejak bertemu Park Jisung, remaja yang punya keluarga...