04. Jwi

2.5K 459 134
                                    

Kalau Taeyong diminta menilai dirinya sendiri, ia akan berkata bahwa dia pencinta kedamaian.

Dulu, saat remaja lain berada di fase aku-jagoan-dan-aku-suka-berkelahi, Taeyong tak pernah ikut-ikutan. Seringnya, dia menonton saja, karena menurutnya itu lebih menyenangkan. Barulah kala situasi memburuk dan teman-temannya bertingkah menyebalkan, dia akan ikut campur dengan cara yang sangat halus; misalnya keluar dan berkata ada guru yang datang, membubarkan acara 'main-main' khas Korea yang menjurus pem-bully-an.

Dia malas ikut campur urusan yang tidak berpengaruh apa-apa terhadap hidupnya.

Tapi saat melihat Jisung dimarahi habis-habisan oleh orang mabuk sinting yang tololnya keterlaluan, Taeyong tahu dirinya tidak bisa diam saja. Bukan gayanya sekali membiarkan anak-anak di bully一bahkan meski anak itu aneh macam Jisung.

Taeyong menyipitkan mata, menantang si pemabuk. Tidak ramah pula tidak santai, ia berujar, "Apa? Nggak denger? Korek itu kuping makanya."

Pria yang wajahnya lebih tua dari Taeyong itu mendengus meremehkan. "Mau sok jadi pahlawan?"

Taeyong membalas dengan mengulang kalimat itu, "Mau sok jadi jagoan?" bak menuang bensin pada api. Tapi ia terlalu lapar untuk peduli. Dia memutar badan, mengamati Jisung yang memungut barang belanjaannya. "Semua oke?"

Mula-mula, Jisung menunduk. Tertegun menatap pecahan botol-botol hijau soju yang berserakan di sekelilingnya. Cairan minuman itu tumpah, membasahi beberapa makanan instan yang ia beli. Setelah itu, ia mendongak, mengangguk ragu-ragu.

Bohong lagi.

Kalau dipikir-pikir, jarang ada yang menjawab pertanyaan itu dengan jujur. Kali ini Taeyong bisa sedikit memahami. Terlebih karena Jisung masih terlihat takut dan terkejut. "Bangun. Nanti kakak ganti yang pecah. Biar kamu nggak diomelin."

Seseorang di belakangnya terbahak一suara melengking keras yang memekakkan telinga Taeyong. "Mau jadi pahlawan beneran ternyata. Kakaknya, ya? Pantes sama-sama goblok."

Dahi Taeyong berkerut一samar, nyaris tak kentara. Suara gemerisik pelan terdengar ketika ia meremas kemasan susu kotak yang belum ia gunakan. Dan sepertinya, tidak akan. Ia memilih melakukan peningkatan, dengan membuang sampah itu dan berbalik.

Prosesnya cepat.

1 detik dia berada di dekat Jisung, tapi dalam 3 detakan jantung, kakinya melangkah memangkas jarak antara dia dan penabrak Jisung, menghantamkan kepalan tangannya yang paling aktif dan kuat ke bagian bawah rahang orang itu, dengan cara yang ia yakini mengakibatkan rasa sakit luar biasa.

Korbannya terkapar seperti ikan di daratan, berguling, memekik. Darah menetes di dagunya, turut menodai aspal kelabu yang semula bersih. Bayangan Taeyong jatuh menimpanya saat ia meregangkan jari-jarinya yang sedikit memerah. Ekspresinya tak ubahnya melihat seekor kecoa yang menggeliat; datar, tak peduli. "Nggak punya otak aja bacot terus, diem gini kan enak."

Agak terlambat, Irene bergabung dengan Taeyong, tertawa ceria alih-alih khawatir. Perpaduan busana mewah dan sepatu hak tingginya yang berkelas seolah mengubah trotoar menjadi catwalk. Kemanapun ia pergi, semua mata mengikuti. Menarik lebih banyak perhatian orang-orang yang memang sudah penasaran.

Bahkan gerakan sederhana seperti membungkuk, membantu Jisung mengumpulkan barang-barangnya, terkesan anggun bila ia yang melakukannya. "Udah, Taeyong." Ia menasehati sang adik, diiringi seringai geli. "Nggak boleh kasar sama binatang."

Taeyong tak serta merta setuju. Ia memiringkan kepala, menimbang-nimbang apakah perlu menghajar orang itu sekali lagi. Memberi pelajaran yang pantas dan layak. Tapi perutnya yang bergemuruh membuatnya mengurungkan niat itu.

Determination ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang