Pola luka itu mengerikan.
Berupa goresan merah di sepanjang tulang belakang Jisung, lalu sekitar 5 senti dari puncak bahu kanannya. Satu lagi agak ke bawah, tapi memanjang hingga ke perut; masih terbuka, belum kering. Pasti terasa perih di tubuh yang begitu rapuh.
Memar berwarna kebiruan tersebar seperti bulan-bulan purnama mini yang menodai kulit putihnya. Tapi itu bukan noda biasa atau tato, itu memar一tanda ada pembuluh darah yang pecah, menutupi hampir seluruh punggung Jisung, dengan tingkat keparahan yang tidak mungkin disebabkan trauma kecelakaan.
Tidak. Tidak mungkin.
Jumlahnya terlalu banyak. Membentur sudut meja hanya akan menyebabkan 1 memar. Seceroboh apapun, pisau tidak akan menggores punggung. Ini lain, berbeda. Bahkan retak pada kaki yang Taeyong dapat usai bermain sepak bola tidak separah itu.
Ini terlihat seolah ... ada yang memukuli Jisung berkali-kali. Menggunakan sesuatu yang keras dan tajam. Memakai tangan yang tidak kenal belas kasihan.
Suara Taeyong tercekat. Ludah mengganjal tenggorokannya, mempersulit tiap kata yang hendak keluar. "Jisung ... itu kenapa?"
Jisung bergerak mundur, menutupi punggungnya lagi. Tapi karena panik dan terburu-buru, ia tersandung menabrak kursi. Rasa sakit membuat bibirnya membentuk 1 garis lurus. Tapi bahkan dalam keadaan itu, dia masih berusaha berbohong. "Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Ini cuma一"
"Jisung." Taeyong memotong omong kosongnya, mencengkeram pundak kurus itu一yang tidak lebih dari tulang berbalut kulit一memaksa Jisung menatapnya. "Itu kenapa? Jawab, sialan! Jadi itu alasan kamu selalu pakek baju lengan panjang? Buat nutupin luka, iya?"
Di mata Jisung, ada ketakutan. Pupilnya melebar menggambarkan kecemasan. Bagai burung kecil di bawah bidikan senjata api, dia menciut, ingin menghilang一apapun asal tak lagi menghadapi ini. "Itu ... aku..." Jisung tersenyum, namun senyum itu tidak akan bisa menipu siapapun. Tiap katanya adalah kebohongan, dan Taeyong bertanya-tanya apakah hidupnya juga tersusun dari material yang sama. "Aku ... jatuh. Di lapangan sepak bola yang banyak batunya, jadi ... luka."
Suaranya memudar, begitu pula tenaganya. Dia berpegangan pada ujung meja, sebelum akhirnya menyerah dan kembali duduk di kursi. Tenaga apapun yang dipinjamkan oleh adrenalin, surut secepat kedatangannya.
Tapi Taeyong tak berhenti menginterogasi.
Jatuh? Di lapangan berbatu? Memangnya dia pikir Taeyong orang tolol macam apa? Yang tak bisa melihat dusta, yang berada tepat di depan hidungnya? "Jawab yang bener! Siapa yang mukul kamu, Jisung?"
Suaranya naik beberapa oktaf, meninggi tanpa kendali. Tak ada penangguhan lagi. Taeyong tak ingin terus-menerus berkubang dalam misteri.
"Shin atau Asa?" Taeyong mendesak. Memikirkan 2 orang yang ia sebut namanya. Ibu yang abusif dan pria yang selalu bersembunyi di balik senyuman, kecuali sekali ketika Taeyong memergokinya marah di hadapan Hyuk. "Luka apa yang kayak gitu? Kamu ini harus belajar bohong, Jisung. Kamu jatuh sambil guling-guling 10 kali? Batunya tajem mirip pisau? Jisung, rumah kamu kenapa?"
Dia berseru marah. Jisung bungkam.
Rumah yang seharusnya adalah tempat ternyaman, sekaligus tempat untuk pulang, rupanya jadi neraka baginya. Karena, apalagi sebutannya untuk hunian berisi iblis kejam yang membuatnya terluka separah itu? Butuh hati busuk selagi melakukannya, atau justru tidak butuh hati sama sekali. Kau hanya perlu sikap jahat yang telah mengakar begitu kuat.
Namun entah demi alasan bodoh apa, Jisung berkeras membela. Dia menggeleng dan menggeleng berulang-ulang, seakan hendak meyakinkan dirinya sendiri. "Bukan mereka, nggak ada hubungannya sama Shin atau Mama. Lagian, lama-lama pasti sembuh. Nggak apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Determination ✔️
Фанфик[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena pekerjaan, Lee Taeyong tidak mengharapkan apapun selain hidup tenang dan damai. Namun sejak bertemu Park Jisung, remaja yang punya keluarga...