"Shin, keluar, bangsat!"
Rasa nyeri merambat ke telapak tangan Taeyong saat ia mengetuk, hm, menggedor pintu apartemen unit 92. Belum reda, giliran kakinya yang menendang permukaan halus kayu itu, yang meski kokoh, tapi catnya telah memudar.
Taeyong bisa mendengar deru napas Winwin di sampingnya, yang sedikit-sedikit menoleh ke kanan-kiri, seperti pencuri yang takut ketahuan. Ekspresinya adalah campuran antara tertarik dan ingin pulang saja. Dia penasaran dengan apa yang akan terjadi, sekaligus tegang menanti hal itu.
"Ge, jangan terlalu一"
Taeyong meninju pintu sekali lagi, justru melakukannya lebih keras.
"一kasar..."
Winwin menyelesaikan ucapannya dengan lesu. Ingatan tentang percakapan Taeyong dan Hyuk pasti masih terpatri di benaknya karena selanjutnya ia melirik unit 99, yang menurut penjelasan Hyuk, adalah tempat tinggal Yoon Juyeon.
Tadi Taeyong tidak peduli, sekarang juga sama. Ia tidak kenal Juyeon dan tidak merasa memiliki kewajiban menyediakan dia ketenangan. Yang ia tahu, dirinya menyewa dengan harga yang sama dan punya hak yang sama pula.
Oke, mendobrak pintu seorang tetangga memang tidak masuk dalam bagian hak itu, tapi ia melakukan apa yang menurutnya harus dilakukan.
"Shin! Asa!"
Taeyong kembali berteriak. Suaranya menyebar di koridor lantai 9 yang sepi, hanya disambut keheningan. Tempat ini seperti pemakaman saking jarangnya orang melintas. Ia bertemu Hyuk lebih sering dibanding tetangganya yang lain. Hatinya bertanya, kemana orang-orang? Kemana mereka saat ada remaja yang butuh bantuan?
Taeyong menutup matanya, berpikir dan berpikir sambil berusaha meredam amarah. Ini tidak baik. Ia harus tenang. Kemarahan takkan menyelamatkan siapapun.
"Win, Hyuk bisa buka ini nggak? Atau dia kenal teknisi? Kalo kita jelasin kronologinya, mungkin mereka mau bantu."
Sial bagi Jisung. Keberuntungan tidak berpihak padanya. Dewi Fortuna memilih pergi meninggalkan Taeyong dan Winwin yang menggeleng. "Aku nggak tahu pasti, tapi kayaknya nggak bisa. Ini kan lebih susah dari benerin shower yang macet."
Taeyong mendadak merasakan desakan untuk menendang seseorang, bukan lagi sesuatu. Tidak semua orang tua pantas dihormati. Beberapa seperti Shin dan Asa dan Yena lebih cocok di pukul beramai-ramai. Atau...
Dibiarkan membusuk di penjara.
Bayangan wajah Irene hadir sangat jelas di pikiran Taeyong, memberinya sebuah gagasan yang brilian.
Selagi dia memikirkan sang kakak, Winwin menggeser Taeyong, memberinya isyarat menyingkir. "Dulu aku tahu password-nya. Aku lumayan sering ke sini, mungkin itu belum di ganti?"
Keningnya berkerut penuh konsentrasi.
"Bentar, aku coba..."
Dengan senang hati, Taeyong mundur, mempersilahkan dia mengetik di panel yang tersedia. Jari Winwin bergerak, menekan angka "2002", dilanjutkan "02" lalu berhenti.
"Ah, sialan!" Winwin menggaruk rambutnya frustrasi. Notifikasi yang memberitahu dia salah belum tampil, yang artinya, ia berada di jalur yang benar. "Aku lupa. Aku cuma inget ulang tahunnya Jisung itu di bulan Valentine."
Sebagai orang yang ingatannya kadang bisa sangat buruk, Taeyong tak menyalahkan Winwin, tapi ia terkejut, membelalakkan mata, mendengar fakta terakhir yang Winwin ungkap. "Password-nya ulang tahun Jisung? Asa nggak keliatan kayak tipe orang yang sesayang itu sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Determination ✔️
Fanfic[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena pekerjaan, Lee Taeyong tidak mengharapkan apapun selain hidup tenang dan damai. Namun sejak bertemu Park Jisung, remaja yang punya keluarga...