Warning : persiapkan hati, ada adegan kekerasan lagi 🤧
Park Jisung tak pernah merasa setakut ini, tidak bahkan di hari terburuknya dengan Shin.
Dompet yang ia pegang terjatuh dan ketika ia mengerjap, dunia rasanya berputar-putar memusingkan. Meski bertubuh tinggi, saat itu ia merasa seperti sehelai bulu mungil dalam arus deras kehidupan yang kejam, merasa seperti daun yang terlepas dari dahan tempat selama ini ia bergantung, merasa seperti anak yang ditinggalkan orang tuanya.
"Ma?"
Suara Jisung sarat ketakutan, layaknya seorang anak yang mencari perlindungan ibunya dari monster di bawah tempat tidur yang berhasil mengikutinya ke alam mimpi.
Kakinya berjalan. Satu. Dua. Tapi ia tidak benar-benar merasakannya. Ia seperti melayang di mimpi buruk tanpa akhir menyadari wanita yang dulu membacakan dongeng padanya di tempat tidur yang sama kemungkinan sudah pergi selamanya.
Kaki Jisung menginjak darah yang menggenang di lantai dan ia terisak. Darahnya sangat banyak. Terlalu banyak, bahkan masih menetes bagai hujan yang terlampau deras. Sontak warna merah menodai kulit putihnya.
Dengan jari-jari gemetar, Jisung meraih tangan ibunya, merasakan kelembutan tangan itu yang selalu mengelus rambutnya kala ia sakit. Dan meski setahun belakangan tangan itu berubah sering memukulnya, Jisung tidak lupa kebaikan yang ia lakukan, karena bagaimanapun, ini ibu. Ini ibunya一satu-satunya orang tua yang ia miliki setelah ayahnya pergi.
"Ma..."
Air mata Jisung menetes. Kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya dan ia terjatuh di lantai yang dingin itu. Kesedihannya tidak terbendung, ia menempelkan kepalanya di dekat bahu ibunya dan menangis. Tiap tarikan napas menyakitinya, seiring kenyataan yang menghampiri; kini, mulai detik ini, dia sendirian.
"Ma, bangun..." Jisung memohon, dengan teramat sangat, pada wanita itu, dan pada Tuhan, agar tidak merebut ibunya sebelum dia bisa menebus dosanya karena lahir dan menjadi anak yang tak diinginkan. "Ma, pukul aku aja, ya? Nggak apa-apa. Jangan pergi..."
Jisung tahu. Dia telah lama tahu. Sejak dulu, sejak bisa mengingat, dia terbiasa mendengar orang tuanya bertengkar karena dirinya. Tidak pernah selesai, ibunya kerap membelanya, mengatakan dia butuh kasih sayang tapi ayahnya menganggap uang sudah cukup untuknya.
Kata-kata seperti, "Urus anak itu!" atau "Kalau aja dia nggak lahir" sering ia dengar, di balik selimutnya yang ia pakai untuk menutupi telinga. Itu sebabnya, dia tidak pernah minta macam-macam, karena Jisung tahu, kehadirannya saja merupakan masalah dan ia seharusnya bersyukur masih diberi keluarga yang lengkap.
Kemudian, mereka bercerai. Lagi-lagi karena dirinya.
"Nanti aku sama siapa?"
Ini salahnya. Semua salahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Determination ✔️
Fanfiction[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena pekerjaan, Lee Taeyong tidak mengharapkan apapun selain hidup tenang dan damai. Namun sejak bertemu Park Jisung, remaja yang punya keluarga...