37. Pengakuan

1.1K 246 40
                                    

Mengobrol dengan Winwin tidak membuahkan hasil.

Dalam salah satu pembicaraan mereka yang membahas kepribadian eksentrik Winwin, Taeyong pernah menjuluki pemuda itu sebagai rusa yang indah tapi berbahaya sebab tahu banyak hal, menyimpan segudang rahasia. Tapi setelah pembicaraan hari itu, Irene pikir ada julukan yang lebih cocok untuknya meski tidak terlalu sopan; belut.

Ketika Irene menanyainya, hampir seolah Winwin sudah menyiapkan jawaban untuk itu. Dia berkelit, lihai seperti belut yang meloloskan diri dari genggaman orang yang berpikir sudah menangkapnya. Selama setengah jam, Winwin berkata 'aku nggak tahu' sebanyak 5 kali, dan menceritakan cerita yang sudah diketahui Irene sehingga dia tidak bisa mengorek apapun. Ini bagai memancing di air keruh; Irene bisa saja terus mendesaknya tapi ia juga tahu itu tidak berguna. Orang seperti Winwin terlalu individualis untuk dipaksa berbuat apapun. Tipe yang tidak akan buka mulut kecuali memang itu yang dia inginkan.

Tidak dipungkiri, lega rasanya saat akhirnya menemukan narasumber yang bersedia memberinya jawaban, namun ia tidak menyangka jawaban itu akan datang dari Jisung.

Lenyap. Hilang. Semua kemajuan yang telah Irene capai dengannya sudah tidak ada. Jisung tidak tersenyum, bahkan, tidak berani menatap Irene saat berkata ingin mengakui sesuatu. "Ini soal ... kejadian di rumah."

Unit 92, lagi. Tampaknya semua masalah yang terjadi akhir-akhir ini bersumber dari sana. "Oke, ngomong aja. Ada apa?"

"Orang yang sebenernya dorong Shin...".

"Ya?"

"Bukan Kak Taeyong."

Irene sudah tahu itu, sejak mendengar Winwin bicara di toilet kantor polisi, dan semakin diyakinkan oleh reaksi Taeyong di rumah sakit, namun mendengarnya secara jelas, tahu itu bukanlah dugaan semata, tetap saja mengejutkan. "Terus siapa?"

Telunjuk Jisung melayang di udara, bergerak memberitahukan jawabannya. Irene kira, mulanya Jisung hanya akan menggigitnya seperti yang biasa dilakukan seseorang saat sedang gugup; mencungkil kotoran di kuku, menciptakan bekas tidak rata di permukaan kuku tersebut, namun yang terjadi bukan keduanya dan ... tidak. Irene tidak percaya ini.

Telunjuk Jisung terangkat sampai sejajar dengan dadanya dan ia membalik ujungnya hingga mengarah pada dirinya sendiri. "Aku yang salah. Aku pelakunya."

Kemudian Jisung menceritakannya.

Sebuah detail yang dirahasiakan Taeyong dan Winwin dari Suho. Versi lain yang tetap akan membuat adiknya dikenai hukuman karena mengarang kesaksian palsu dan sudah mengacak-acak TKP一terlepas dari apa tujuannya. Tapi, pikir Irene, pastinya tidak akan seberat tuduhan mencederai orang lain. Taeyong bersih. Fakta itu akan dipertimbangkan polisi kalau kesalahannya sebatas sok jadi pahlawan. Irene mungkin bisa mendapatkan denda dan peringatan untuknya. Hanya itu. Lain halnya jika kebenaran rekayasa ini dipertahankan; ada sesuatu yang lebih buruk menunggu.

Jisung terus bicara. Katanya, dia minta maaf. Dia meminta irene tidak menyalahkan Winwin karena Winwin melakukan itu demi dirinya. Lalu, dia minta maaf, lagi.

"Aku ngerti kalau Kak Irene marah," katanya. "Dari awal kita ketemu aku cuma bikin masalah. Persis kata Ayah, ngerepotin. Tapi aku mau tanggung jawab. Aku harus tanggung jawab. Itu satu-satunya cara aku bisa nebus semuanya."

Irene tergagap. "Jisung一Jisung, Kakak nggak tahu harus bilang apa."

Bisa jadi, perkataannya keliru. Irene mengerti dia harusnya memeluk Jisung dan berkata itu bukan salahnya, tapi dia teringat peristiwa di ulang tahun ke-14 Taeyong, saat ia memberitahunya tentang pembunuhan terselebung dan segala hal menguap dari kepalanya. Irene tidak tahu harus bertepuk tangan atau membenturkan kepala Taeyong ke dinding atau keduanya. Ini terlalu membingungkan.

Determination ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang