Park Jisung merasakan pandangannya berkabut.
Seolah dia melayang-layang di dunia yang serba kelabu dan buram, tempat tak ada warna selain kegelapan. Dia merasa seolah berada di detik-detik antara sadar dan tidak saat akan tertidur dan mendapat kesan ini semua tidak nyata. Bahwa semua yang terjadi一kematian ibunya, Taeyong yang masuk penjara一tidak lebih dari lelucon kejam alam semesta.
Namun semakin dekat Han dengannya, semakin cepat pula bayangan itu pudar. Hidup yang ideal hanya khayalan dan si jaksa menjadi pengingat yang sempurna.
Ada maut. Ada ancaman hukuman. Ada seorang pria yang menjunjung tinggi rasa setia kawan, dan ada mulut yang harus memberikan kesaksian.
Ini belum selesai, Jisung mengingatkan dirinya sendiri. Dia harus fokus, dan salah satu caranya adalah dengan menghitung langkah kaki Han.
Rupanya tidak banyak. Hanya dalam 38 langkah saja, Han sudah berdiri dalam jarak yang lebih dekat dari yang diperlukan darinya.
"Jisung." Han tersenyum. "Kebetulan bisa ketemu di sini, ya?"
Namun baik senyum atau perkataannya, Jisung tidak membalasnya. Benaknya sibuk menerka-nerka. Dalam hati ia penasaran, apakah kehilangan teman yang kau anggap seperti saudara mampu merusak hati nuranimu?
Pada setiap orang pastilah tidak sama, tapi itu jelas yang terjadi pada Han.
Si jaksa batuk, membersihkan tenggorokannya. "Bisa kita mulai sekarang?"
Tak ada alasan untuk menundanya lebih lama. Sebesar Jisung menginginkan sidang ini tidak pernah ada, sebesar itu pula keinginannya sidang ini cepat berakhir. "Ya."
"Park Jisung, Saya harus mengakui bahwa kesaksian Anda sungguh lucu. Kekerasan pada anak? Berapa lama Anda berimajinasi untuk merekayasa semua ini?"
"Itu bukan rekayasa. Itu kenyataan."
"Lalu kenapa ibu Anda tidak mengusir Shin? Coba pikir, kenapa seorang wanita meminta orang yang suka memukul anak-anak tinggal di rumahnya, padahal dia punya anak yang masih remaja?"
"Mama suka sama dia."
"Apakah Anda keberatan dengan hal itu?"
"Nggak. Karena awalnya nggak ada masalah."
"Apakah Anda mengenal Shin sebelumnya?"
"Ya."
"Berapa lama?"
"Bertahun-tahun."
"Sejak Anda masih kecil?"
"Ya."
"Bagaimana sikapnya saat dia sebatas menjadi kenalan Anda?"
"Baik. Dia disukai banyak orang."
"Kalau begitu tolong katakan pada kami mengapa sikap Shin tiba-tiba mengalami perubahan signifikan usai serumah dengan Anda."
"Aku ... nggak tahu." Bahkan hingga kini, jawabannya masih merupakan misteri. Apa penyebabnya, apa pemicunya, pertanyaan itu setara dengan mengapa ibunya berbalik membencinya dan ayahnya meninggalkannya; Jisung tidak tahu.
Selama sekian bulan, di malam-malam ketika keadaan memburuk hingga dia hampir lupa kehidupannya yang damai, Jisung sering bertanya-tanya kenapa Shin tidak menyukainya. Kesalahan macam apa yang dia perbuat? Sifatnya yang mana yang tidak cocok dengan Shin?
Sekarang Shin sudah meninggal, dan takkan ada yang menjawab pertanyaan itu. Seperti alasan bumi masih berputar. Barangkali sebagian misteri ditakdirkan untuk tetap jadi misteri.
"Mungkinkah Shin juga mengalami kecanduan alkohol?"
Andai saja sesederhana itu, Jisung tidak perlu menggali dalam kepalanya apa yang kurang darinya. "Nggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Determination ✔️
Fanfic[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena pekerjaan, Lee Taeyong tidak mengharapkan apapun selain hidup tenang dan damai. Namun sejak bertemu Park Jisung, remaja yang punya keluarga...