38. 4 Tahapan Status

1.1K 255 73
                                    

Apakah ini takdir?

Di atas sofa empuk rumahnya yang berwarna一coba tebak一tentu saja, ungu, Irene memikirkan pertanyaan itu, mencoba mencari jawabannya.

Semua ini bermula sejak Taeyong pindah ke Ahyeon. Adiknya hanya terima beres, Irene-lah yang menemukan apartemen itu dan mengurus kepindahannya. Taeyong bisa saja diberi tempat di lantai lain tapi pemiliknya memberinya unit 95 di lantai 9, yang berisi orang-orang yang lebih suka tutup mata daripada menolong seorang remaja yang butuh bantuan.

Kemudian, Taeyong bertemu Jisung.

Taeyong, yang semasa kecil sering berbagi makanan dengan hewan-hewan di sekitar rumah, sampai keadaan jadi sulit dan tak ada lagi yang bisa dibagikan. Taeyong, yang takkan bisa mengabaikan orang yang membutuhkannya一tidak selama ia bisa一terlibat lebih jauh dan menyeret Irene bersamanya.

Dalam beberapa hal, seolah telah digariskan, dia dan adiknya terhubung dengan Jisung.

Takdir yang seperti jalan berliku, pertemuan yang seperti persimpangan yang mau tak mau harus dilewati. Ini pasir hisap dan keduanya terlanjur terjebak di dalamnya.

"Jadi Lee Yena itu Mamanya kakak?"

Sedangkan rahasia kelam ini, ibarat sebuah kertas perkamen rusak yang tak pernah ingin Irene buka. Isi di dalamnya terlalu buruk, terlalu menghancurkan. Layaknya api yang tak terkendali, rahasia itu bisa membakar hubungan apapun yang telah terjalin di antara mereka, memusnahkan semuanya sampai habis tak berbekas.

Namun, Irene bisa apa?

Jisung sudah, sekarang gilirannya. Jauh dalam hati, Irene malu karena Jisung lebih dulu mengungkap rahasianya yang lebih besar meski tahu itu bisa membuat irene一yang notabene lebih dari pengacara, juga merupakan orang yang melindunginya一berbalik membencinya. Jisung tahu, tapi tetap mengambil resiko. Irene hanya mengikuti jejaknya, supaya tak ada lagi rahasia yang tersembunyi.

Berat sekali rasanya untuk mengangguk, namun itulah yang dilakukan Irene. "Iya. Kamu pernah ketemu dia?"

Betapa terkejutnya Irene ketika kepala Jisung terangguk pelan menjawabnya. "Sekali. Dia ikut Ayah nganter uang, tapi diem di mobil. Ayah udah ngasih tahu dia namaku, tapi dia salah nyebut 'Jinyoung'."

Pecahlah tawa Irene saat itu juga, berbarengan dengan air matanya yang mendesak keluar. "Dia emang pelupa. Sama anak sendiri aja nggak inget."

Jisung diam saja.

"Taeyong nggak tahu soal ini," kata Irene, pandangannya menerawang, memikirkan nasib adiknya yang belum pasti. "Bukan maksudnya mau jadiin ini rahasia, tapi daridulu dia sama Mama nggak akrab. Bisa-bisa dia datengin Ayah kamu dan ngasih  kenang-kenangan istimewa." Irene tertawa kecil. "Dia pasti malu banget kalau tahu."

Dari sudut mata, Irene mengamati Jisung, perubahan ekspresi di wajahnya, tapi Jisung tidak bereaksi. Emosinya tersembunyi, ia simpan rapat-rapat dalam kotak yang kuncinya hanya ia miliki.

Sementara di pangkuannya, seakan tahu Irene buruh dukungan, Ruby bangun dan bergelung lebih rapat ke tangannya. Anjing itu berkata, tidak apa-apa, tidak apa-apa, tanpa suara. Dia menenangkan lewat kehangatan tubuhnya. Sebab Irene takut, kesalahan ini terlampau besar untuk bisa dimaafkan. Dia tidak tahu sejak kapan pendapat Jisung penting baginya, tapi ia tahu pasti bahwa akibat ulah ibunya, ada hutang yang harus dilunasi.

"Semua kejadian di rumah kamu nggak akan terjadi kalau bukan karena Mama. Masalah Shin ini一" kalimat Irene terputus disusupi tangis yang tak diundang atau dapat dibendung. "Kakak minta maaf."

Jisung masih tidak bergerak, tapi bibirnya terbuka merangkai kata-kata. "Buat apa?"

"Buat ngerusak kebahagiaan keluarga kamu. Buat ngerebut Ayah kamu, bikin Mama kamu depresi." Irene mengusap hidungnya. Dengan suara mengecil, dia merangkum, "Buat semuanya."

Determination ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang