Namanya Dong Sicheng, dan dia jatuh cinta pada kata-kata.
Sejak kecil, tidak seperti anak-anak lain yang terpesona pada angka 2 yang bisa berubah jadi bebek, Sicheng lebih tertarik pada fakta bahwa huruf "z" tampak seperti garis zig-zag dan bahwa huruf "c" mirip lengkungan bibir yang tengah tersenyum.
Bertahun-tahun yang lalu, dengan bimbingan gurunya yang cantik, Sicheng belajar menulis untuk pertama kalinya. Dia serius sekali menghafal deretan abjad, membedakan huruf "w" dan "m", juga mengingat cara membaca kombinasi huruf "ng" yang membingungkan hingga tak lama, dia bisa melakukannya tanpa bantuan.
Surat cinta pertama yang ia tulis adalah surat untuk wanita paling hebat dalam hidupnya, sang ibu, yang tertawa saat membacanya.
"Mama cantik mirip Iron Man perempuan, tapi kalau marah mirip beruang. Aku sayang Mama selamanya, jangan paksa aku makan sayur lagi, ya?"
Berlanjut ke catatan-catatan sederhana di buku hariannya yang bercerita tentang keseruan masa kanak-kanaknya di negeri darimana panda berasal.
"Hari ini aku ngajak Yiyang lihat kodok di halaman belakang, tapi kodoknya nakal dan lompat ke Yiyang. Terus Yiyang nangis deh..."
"Buat apa lari cepet di pelajaran olahraga kalau nggak dapet piala? Nggak asyik."
Namun, ayahnya menentang hal ini.
Menurutnya, mengeluarkan uang untuk membeli buku sama saja dengan membeli sampah一tidak peduli itu karya Rainer Maria Rilke, James B. Stewart, atau Jeffery Deaver.
Sicheng tidak bangga mengakui ini, tapi Ayahnya merupakan alasan dia diam-diam membeli buku dan menyimpannya di kolong tempat tidur. Mereka harus disembunyikan, termasuk semua catatannya, kalau tidak mau sampai dibuang.
"Buat apa nulis kayak gini? Cerita-cerita nggak jelas gini? Nggak guna!"
Sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga一yang lebih menyerupai bencana daripada anugerah一ayahnya berharap Sicheng mengikuti jejaknya di bidang hukum. Pengacara, jaksa, terserah. Asal jangan jadi penulis yang tidak bisa menjamin apa-apa. Untuk apa mengejar angan-angan yang belum pasti kalau ada profesi yang lebih menjanjikan di depan mata?
Namun dia menolaknya, bukan itu yang aku mau.
Ia tidak bisa berhenti一tidak walaupun berusaha keras. Menulis sudah menjadi bagian dari jiwanya, hampir-hampir seperti bernapas. Kalau tidak bernapas, kau mati. Kalau tidak menulis, ia merasa sepi.
Sederhananya begini, ayahnya hanya perlu mendengar dan membuka mata. Sicheng bisa menunjukkan padanya bahwa tulisannya bukanlah omong kosong semata, tapi masalahnya, dia memutuskan menjadi buta dan tuli. Dia tidak mengerti, dan Sicheng rasa, takkan pernah mengerti.
Ayahnya memberinya dua pilihan : kuliah jurusan hukum, atau minggat dari rumah.
Yang ditelinganya lebih terdengar seperti : putuskan hubungan kekeluargaan, atau putuskan tanganmu.
Ini lebih parah dari writer's block yang tak kunjung hilang berbulan-bulan. Lebih buruk daripada ditantang temannya, Xiao Jun, mencoba bungee jumping, padahal ia takut ketinggian. Karena meski semua anak pada akhirnya memang akan meninggalkan rumahnya menjelang dewasa, Sicheng lebih tahu; sekali bersikap nekat dan pergi, ia selamanya tidak akan bisa kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Determination ✔️
Fanfic[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena pekerjaan, Lee Taeyong tidak mengharapkan apapun selain hidup tenang dan damai. Namun sejak bertemu Park Jisung, remaja yang punya keluarga...